Sebenarnya saya sudah mencoba melupakan ucapan seorang bapak tua berjanggut yang berkata penindasan pekerja, ia harus menjual tenaganya demi mencukupi kebutuhan sehari-hari yang serta merta ia bawakan kepada keluarga.
Saya merasa perlu mengingat dan menarik kembali pemikiran itu. Sesuatu telah mengusik nurani terhadap mereka yang bekerja.
KPK melaporkan bahwa pihaknya menerima informasi adanya pemotongan insentif tenaga kesehatan oleh pihak manajemen RS dengan besaran 50 hingga 70 persen, laporan Tribun Bali, 23 Februari 2021.
"Insentif yang diterima oleh tenaga kesehatan secara langsung tersebut diketahui dilakukan pemotongan oleh pihak manajemen untuk kemudian diberikan kepada nakes atau pihak lainnya yang tidak berhubungan langsung dalam penanganan pasien Covid-19," kata Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding.
Ada tiga permasalahan ditemukan dalam pembayaran insentif yang dikemukakan Ipi, di antaranya:
Pertama, potensi inefisiensi keuangan negara yang disebabkan duplikasi anggaran untuk program pemberian insentif tenaga kesehatan di daerah, yakni melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Belanja Tidak Terduga (BTT).
Kedua, proses pembayaran yang berjenjang menyebabkan lamanya waktu pencairan dan meningkatkan risiko penundaan dan pemotongan insentif atau santunan tenaga kesehatan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, proses verifikasi akhir yang terpusat di Kementerian Kesehatan dapat menyebabkan lamanya proses verifikasi dan berdampak pada lambatnya pembayaran insentif dan santunan tenaga kesehatan.
Kegeraman itu tiba-tiba bangkit dari pikiran saya. Dua atau tiga bulan lalu, kegelisahan teman saya seorang perawat. Ia menceritakan pengalamannya menangani pasien. Itu panggilan dirinya sebagai perawat.
Di sisi yang tidak terungkap, ia seolah ingin berteriak dan mengadu, tetapi ia menyimpannya dalam doa. Kala itu, saya melamun bahwa suatu hari Tuhan membantu ia keluar dari dera yang memberatkan dia bekerja menolong orang-orang terinfeksi Covid-19.