Sebenarnya, tiap jam pelajaran di sekolah, perasaan jenuh kadang-kadang membuncah di pikiran. Guru selama sebulan terakhir kehabisan materi pelajaran karena semua bab buku telah selesai.Â
Dengan waktu dua bulan sebelum pelaksanaan Ujian Nasional, kegiatan ajar-mengajar sekadar memenuhi kebutuhan administrasi, curhat-curhat guru mengenang masa lalunya, bahkan berbicara tentang tokoh politik favoritnya.
Meski demikian, kewajiban sebagai siswa harus terpenuhi,uang sekolah harus dilunaskan tepat waktu terutama yang penting ialah kami wajib masuk sekolah tepat waktu, tanpa pernah bolong seharipun.Â
Aku pikir cara-cara ini begitu memaksa, untuk apalagi kami melakukan ini semua sementara banyak waktu untuk menikmati hari-hari yang ada dengan kebebasan di rumah. Salah seorang guru pernah memberi jawaban atas kekeliruan tersebut.
"Semua orang harus menaati aturan, kecuali ada perubahan," kata guru itu.
Ucapan itu seolah menjadi afirmasi bagi aku dan beberapa teman lain melaksanakan titah perubahan tersebut. Di jeda pergantian guru mata pelajaran, Dodi beranjak dari kursinya dan meminta yang lain mengikuti siasatnya. Dia melangkah keluar kelas, aku mengikuti dari belakang menyusul dua orang lainnya. Kami berjalan dengan tenang seperti orang biasa pada umumnya.Â
Pak Ahsan, guru Biologi yang kebetulan melintas dari arah berlawanan, menaruh curiga dan bertanya tujuan kami. Sekarang bukan jam istirahat, seharusnya kami berada di kelas.Â
Dodi dengan spontan menjawab,"Membeli kertas folio, Pak."Â
"Kalian semua membeli kertas? Apa tidak bisa diwakilkan satu orang?"Â
"Nggak cuma membeli kertas, Pak. Selesai ini, kami disuruh mengambil buku tugas di ruang Bu Alfi, butuh orang banyak buat mengangkatnya. Ada simulasi Ujian Nasional," kata Dodi.Â
Mendengar itu, Pak Ahsan sempat diam sejenak seperti mencerna kebenaran ucapan Dodi, namun akhirnya pergi tanpa menginterogasi lagi. Sementara kami berjalan mengarah ke kantin di balik lapangan basket yang tertutup deretan pepohonan. Suasana terlihat sepi mengingat aktivitas terkonsentrasi di kelas masing-masing.Â
Tujuan kami tidak seperti yang dikatakan Dodi membeli kertas folio. Di sebelah bangunan kantin, terdapat satu jalan tikus yang terhimpit dua bangunan dengan parit di sekitarnya yang mengalirkan hasil pembuangan WC dan dapur kantin. Sepanjang jalan, bau sampah sisa makanan bercampur pesing menyemerbak ke udara. Tulang-tulang ikan, gumpalan nasi dan sambal berserakan, air parit keruh hitam.Â
Seluruhnya menutup hidung menggunakan telapak tangan, tetapi mengirupnya kembali ketika tiba di ujung jalan yang terhalang tembok setinggi kira-kira dua meter. Inilah rencananya, kami akan bahu-membahu untuk melewati tembok tersebut. Cabut dari jam pelajaran.Â
Kami melakukan perubahan meski harus ditempuh susah payah, hampir setiap hari. Dodi biasa melakukannya selama tiga tahun sejak resmi menjadi murid SMA, sedangkan aku baru menunaikan ini setahun terakhir dan kadang-kadang.
Sebagai ketua regu, Dodi mengambil giliran pertama memanjat. Jarak antar dinding tidak terlalu lebar, hanya setengah meter, cukup kecil dipanjat dengan kedua kaki. Setelah dua langkah merayap, kami membantu menyorong pantatnya hingga dia dapat menjangkau titik tertinggi tembok tersebut.Â
Begitu seterusnya sampai kesempatanku di paling akhir. Namun, kesialan muncul. Tiba-tiba, terdengar suara orang berjalan dengan sepatu bertapak keras. Itu pasti guru sedang melintas. Otakku langsung terpacu, harus segera kabur sebelum kepergok. Ilham yang duduk menanti kedatanganku di atas tembok juga mendengar suara langkah kaki itu. Dia sama paniknya.
"Buruan, woy!" katanya.
Dengan tergesa-gesa, aku menekan dua tembok, tapi ancang-ancang yang kupasangkan salah. Kontur tanah ini memiliki kemiringan sehingga kedua kaki harus mendapatkan posisi sejajar sebelum melompat. Itu tidak kulakukan, langsung hap dan karenanya posisi menjadi tidak seimbang, terpeleset dan sejurus kemudian jatuh.Â
"Asuuu..."
Parahnya ujung sepatu menyentuh permukaan parit. Cipratan air meluncur mengenai celana. Langkah kaki itu terdengar makin cepat mendekat mencari tahu apa yang terjadi di sini. Ilham kian kalut, karena egois memikirkan nasibnya sendiri, dia mencoba balik badan untuk lekas melompat keluar.
"Tunggu," kataku menggertak. Dengan percobaan kedua dan kepasrahan penuh tingkat tinggi, aku mengambil lagi langkah keburuntunganku. Kali ini, kaki diayunkan dengan lompatan sangat tinggi sebisaku, menempel, naik dan terus memanjat.Â
Ilham menjulurkan tangan yang menjadi topanganku, tarik dan akhirnya berhasil keluar. Soal suara itu,siapapun dia, kami tidak peduli. Dodi dan lainnya tertawa menyaksikan lumuran kotoran menempel di sepatuku bersama bau sampah, bukan main menyengatnya.Â
Lokasi parkir sekolah berada di seberang jalan. Sebagian siswa memang memarkirkan kendaraan di pekarangan warga, di luar sekolah karena halaman sekolah sangat terbatas. Biaya parkir hanya Rp2.000, tapi aku menambahkan menjadi Rp5.000 untuk bisa menggunakan kamar mandi mereka. Setelah mengganti sepatu dengan sandal dan menaruhnya di bagasi motor, kami bergegas mencari tempat tongkrongan.
Kenakalan-kenakalan ini sesekali terlintas dalam pikiran dan hanya terealisasi dengan pertimbangan tertentu. Nyaliku masih setengah matang untuk melanggar aturan seperti mereka meski kebosanan lebih lama membuatku terpenjara di kelas. Otakku benar-benar kesulitan untuk memahami asupan materi pelajaran, kecuali pelajaran olahraga dan ekonomi yang diajarkan Bu Lesti, guru muda yang baru lulus dari bangku kuliah. Dia sering mengumbar senyuman tiap mengajar, hati menjadi teduh dan membuat siapapun terbuai.
Tujuan kami adalah warung kopi, sudah menjadi tempat yang biasa disinggahi anak-anak sekolah. Lokasinya tidak terpencil,terbuka dan mudah ditemui di pinggir jalan raya. Ternyata, setibanya di sana, aku melihat Amanda duduk bersama dua teman perempuannya. Baru kali ini setahuku dia singgah di warkop ini.Â
Aku meluncur mendekati dia tetapi dibalas dengan wajah terkejut.Â
"Hei, sedang apa?" kataku.Â
Amanda meminta waktu kepada temannya, ada hal penting tampaknya, dia mengajakku ke meja lain.Â
"Apa itu teman-temanmu?"Â
"Ya, kami baru datang," balasku.Â
Wajah Amanda terlihat semakin tidak menyenangkan. Selagi berbicara, penjaga warung menanyakan pesananku dan kujawab segelas teh. Amanda memintaku untuk mendengarkannya, kelihatan serius.Â
"Sebentar lagi tawuran. Anak-anak dari sekolahku mencariteman-temanmu, mereka dalam perjalanan kemari," ujar Amanda.
Pernyataan Amanda mendadak membuatku refleks. Kaget. Aku tidak tahu sama sekali dengan maksud tawuran itu. Setahuku kami hanya ingin keluar dari kelas dan mencari tempat menyenangkan untuk nongkrong, balik selesai jam sekolah, mengambil tas, dan pulang. Hal yang biasa seperti sebelumnya. Dodi dan yang lain tidak mengatakan apapun tentang perkelahian.Â
Namun, gelagat mencurigakan memang sudah terlihat sejak awal kedatangan kami. Satu per satu murid dari sekolah lain berkumpul. Beberapa ada kukenal, di antara mereka membawa tongkat besi dan gear rantai motor. Sesuatu yang janggal. Lalu aku menanyakan kepada Amanda, apa yang mau dilakukannya di tempat ini. Tawuran bisa melukainya.Â
Amanda membalas, bahwa dia membantu teman-temannya. Dia mengatakan bahwa dirinya dan teman-temannya tadi hanya pengalihan, mereka sedang menghitung jumlah lawan, bertindak bak mata-mata dan akan terlibat jika keadaan mendesak.Â
"Jadi, saat ini kita adalah lawan?"Â
"Untuk sekarang, iya, aku tidak tahu bagaimana kedepannya," kata Amanda.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H