BAJA identik dengan kekokohan dan sifatnya yang keras dan kuat. Dalam pembangunan infrastruktur, konstruksi baja selalu menjadi andalan. Bahkan jika mengalihkannya sedikit ke sektor pertahanan, kita akan mendapati kendaraan tempur lapis baja.
Kesan kokoh dan kuat ini dapat melekatkannya pada sisi maskulinitas.
Namun, julukan baja sebenarnya lebih dikenal dari sisi feminisme, utamanya kepada industri baja yang disebut sebagai mother of industry. Musababnya, produk baja banyak digunakan dalam pelbagai sektor dari konstruksi, perhubungan, otomotif, listrik, pertambangan dan energi, dan sistem pertahanan.
Identitas mother of industry itu adalah bentuk penghormatan karena dari dialah segala sektor industri dapat terlahir. Kaleng pada biskuit terbuat dari baja. Cangkul yang dipakai para petani untuk menggaruk tanah demi panganan kita, terbuat dari baja.
Genteng rumah yang melindungi kulit dari terik matahari, gelegar petir dan derasnya air hujan, sebagian besar di antaranya merupakan baja. Atau ambil bagian terkecilnya, baut yang sering menyatukan komponen perangkat kendaraan adalah baja.
Kalau saja si Polan yang mau berkencan ternyata mendapati salah satu baut motornya bergeser akibat terlalu sering menerima tekanan, maka pupuslah malam minggunya bersama sang kekasih.
Mau beralasan baut motornya rusak, agak malu-malu. Kalaupun alasan itu diomongkan si Polan, mudah-mudahan dia tidak terkena kejutekan kekasihnya yang sembari waktu lama menunggunya hingga kesal.
Kisah si Polan dan kekasihnya hanya ilustrasi. Dalam dunia nyata, tekanan itu menimpa industri baja nasional pada tahun ini. Ceritanya bukan lagu baru untuk tahun 2021, tetapi sudah berkali-kali terdengar dalam kurun waktu satu dekade terakhir.
Baja yang kokoh itu ternyata bisa menjerit.
Kali ini, industri baja kembali mengalami tekanan akibat derasnya baja impor dari China. Pengumuman ini tersiar luas tatkala Presiden Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan konferensi pers tiga hari lalu dengan berkata bahwa 100.000 pekerja di industri baja terancam PHK.
Tempat mereka bekerja terancam gulung tikar akibat serbuan baja impor murah dari China yang berdampak terhadap daya saing produk industri baja nasional.
"Baja impor terutama dari China dijual sangat murah di Indonesia. Jika dibiarkan, industri baja nasional akan bangkrut dan 100.000 karyawan terancam PHK massal," kata Said Iqbal yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Kamis, 21 Januari 2021 mengutip Kompas.com.
China bukan satu-satunya pemasok baja ke dalam negeri. Ada Jepang, Korea, Taiwan dan Vietnam sebagai pemain besar.
Tetapi, perhatian utama tertuju kepada China lantaran harga bajanya begitu menggiurkan pengguna Tanah Air.
Pemikiran-pemikiran soal harga murah ini yang kerap mempertentangkan, bahkan mengernyitkan dahi. Di satu sisi, konsumen ingin memperoleh produk dengan harga bersaing, sementara kita harus memikirkan keberlangsungan industri baja dalam negeri.
Melihat ancaman PHK besar itu, kita tampaknya tidak lagi berada dalam pilihan, melainkan keharusan berpihak terhadap industri baja nasional.
PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP) adalah salah satu korporasi yang mempekerjakan 5.600 karyawan. Nasib perusahaan ini sama malangnya terancam di ujung tanduk akibat gempuran baja impor.
Direktur Public Relations PT GRP, Fedaus, meminta pemerintah memperpanjang safeguard untuk 'mengerem' baja impor yang masuk ke pasar dalam negeri, laporan Tempo.co.
Apalagi sekarang pasar Asia, kata Fedaus, tengah mengantisipasi over supply baja dari China pada tahun ini yang diperkirakan mencapai 1,15 miliar ton.
Sebelumnya Komite Pangamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) menerbitkan surat nomor 01/KPPI/01/2021 tertanggal 12 Januari 2021 yang pada intinya menolak perpanjangan saferguard PT GRP lantaran proses pemeriksaan telah lewat batas waktu.
Safeguard atau bea masuk tindakan pengamanan adalah bea masuk yang dipungut sebagai akibat tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius dan mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri (Rinaldy, Ikhlas, & Utama, 2018).
Tekanan tidak semata berdampak kepada PT GRP. Sejumlah industri baja lain bisa terimbas dampak impor baja yang terindikasi dari rendahnya tingkat utilisasi industri besi dan baja nasional di bawah 50 persen, jauh dari ideal 80 persen.
The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA)Â mengutip data Badan Pusat Statistik menyebutkan pada semester I 2020, neraca perdagangan baja nasional mengalami defisit USD 884 juta atau turun 63 persen dari periode tahun sebelumnya sebesar USD 2.047 juta.Â
Sedangkan, dari sisi volume, defisit neraca perdagangan mencapai 2.805 ribu ton atau turun 40 persen dibandingkan semester I 2019 yang mencapai 4.745 ribu ton.
Walau terlihat adanya perbaikan defisit neraca perdagangan, IISIA menerangkan industri baja nasional tetap pada kondisi sulit lantaran permintaan baja domestik turun lebih besar dibandingkan dengan pengurangan impor. Alhasil, tingkat utilisasi industri baja nasional berada di kisaran 20-40 persen.
Namun, kita tidak perlu terburu-buru menyalahkan China dalam perkara pelik yang sudah bertahun-tahun mendera industri baja. China berdaulat untuk menerapkan kebijakan yang menguntungkan produsen baja di sana dengan memberikan bermacam jenis subsidi.
IISIAÂ mencatat subisdi yang diberikan tersebut antara lain energy subsidies, loan interest subsidies, direct financial grant, direct cash grants, equity infusion, tax break, tax rebate, dan land acquisition.
Tax rebate, misalnya, potongan pajak ekspor sebesar 13 persen yang diberikan kepada eksportir baja paduan.
Tidak hanya China, negara lain memang selalu ikut campur tangan terhadap industri baja masing-masing mengingat strategisnya industri ini walau kebijakan tarif rentan diperkarakan ke WTO.
Menurut keterangan IISIA, Amerika Serikat, India, Kanada, Italia, Belgia, Inggris dan Turki, memberlakukan bentuk import duty, tax incentives, low interest loan dan bahkan paket dukungan finansial untuk penyelamatan industri besi dan bajanya.
Indonesia sudah memiliki instrumen safeguard, termasuk juga instrumen non-tarif seperti pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Produk Baja untuk mengendalikan produk impor. Penerapan SNI sekaligus mendorong tingkat kualitas baja yang beredar kepada masyarakat dapat semakin baik.
Maka, ketika over supply baja China itu terjadi, sejumlah negara melakukan tindakan pengamanan. Menurut Fedaus, Malaysia menerapkan antidumping barrier untuk produk baja lapis alumunium dari Cina sebesar 2,8-18,8 persen. Di seberang laut sana, Korea Selatan menerapkan tarif 9,98-34,94 persen, dan Vietnam mematok tarif 3,06-37,14 persen sampai Desember 2025.
Dari sekian panjang tulisan ini, ternyata masih ada lagi faktor lain yang mempengaruhi importasi ini, yaitu liberalisasi pasar melalui perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan negara lain.
Perjanjian perdagangan itu dilakukan entah melalui bilateral ataupun multilateral, antara lain: Common Effective Prefential Tariff- ASEAN Free Trade Agreement/CEPT-AFTA, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJ-EPA, ASEAN Free Trade Agreement/ASEAN-FTA dengan Tiongkok/AC-FTA, Korea Selatan/AK-FTA, Selandia Baru/ANZ-FTA, India/AI-FTA dan negara lain-lain. Perjanjian tersebut berpengaruh terhadap penurunan Tarif Bea Masuk (TBM) dari Most Favorable Nation (MFN) hingga 0 persen.
Di atas itu adalah perjanjian perdagangan yang saya kutip dari laman web IISIA. Mereka memiliki sajian lain yang terpampang di situsnya untuk bisa disimak publik.Â
Tidak seorang pun berharap Ibu industri terus-menerus menahan sakit parahnya sambil berteriak untuk mendapat perhatian. Terlebih sepahit-pahitnya pabrik pun terpaksa tutup, membayangkannya tidak seperti semudah menutup lapak dagangan.
Melewati masa sulit itu, langkah survival ditempuh industri baja nasional dengan memasarkan produknya ke luar negeri. Hasilnya baik. Volume penjualan ekspor sepanjang semester I 2020 meningkat 18 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019, dari 2.493 ribu ton menjadi 2.935 ribu ton.
Namun, kalangan industri baja tetap menyerukan pentingnya instrumen trade remedies sebagai jalan untuk mempertahankan industri baja nasional. Ini sekaligus menjadi prasyarat kepada industri besi dan baja nasional agar terus tumbuh berkembang.
"Tanpa kebijakan penerapan trade remedies yang tepat dan efektif maka akan sangat sulit bagi industri besi dan baja nasional untuk dapat bersaing secara adil dengan produk impor. Produsen baja besar dan modern di negara-negara maju juga membutuhkan dukungan kebijakan trade remedies," tulis IISIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H