Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Capitol Hill Kacau, Indonesia Masih Mau Kebarat-baratan?

8 Januari 2021   07:01 Diperbarui: 8 Januari 2021   07:22 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendukung Donald Trump bentrok dengan pasukan keamanan saat menerobos masuk Gedung Capitol (6/1/2021). (AFP Photo/Joseph Prezioso via Kompas.com)

"Ya, terang aja seleramu berubah, mungkin terlalu banyak gaul sama turis. Jadi hobinya denger yang Inggris-Inggris. Biar bingung asal British"

Itu adalah cuplikan lagu Jamrud berjudul Asal British yang populer di Tanah air pada awal tahun 2000-an.

Di zamannya, Jamurd ingin menyampaikan pesan sindiran terhadap anggapan orang-orang gaul karena menampilkan gaya kebarat-baratan.

Sampai saat ini masyarakat Indonesia belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari masalah Keinggris-inggrisan ini, dari soal selera musik hingga berbagai produk budaya lainnya.

Bila orang Indonesia berbahasa Inggris, maka dikira tinggilah tingkat intelektualnya.

Itu tidak seribu persen salah, karena proses belajar bahasa asing membutuhkan kemampuan penalaran yang kuat.

Hanya saja, agak menjengkelkan ketika gagasan yang asal Inggris itu sering dijadikan sebagai stereotip.

Itu sama ketika kita mempertimbangkan Amerika Serikat.

Negeri Paman Sam sering dinilai lebih unggul dari Indonesia.

Sebut saja sektor ekonomi di mana negara internasional sangat bergantung untuk mengekspor barangnya masuk ke Amerika. Perdagangan internasional menggunakan dolar AS.

Ada sederet universitas ternama yang menerbitkan banyak pemikir hebat. Pelajar kita berlomba untuk belajar di sana.

Dengan kata lain, banyaklah keunggulan Amerika dibandingkan Indonesia.

Namun, itu bukan berarti mereka lebih baik dalam segala aspek. 

Prosedur demokrasi, misalnya.

Ini terlihat ketika para pendukung Trump mengepung Capitol Hill di Washington DC, 6 Januari 2021, untuk menolak hasil Pilpres AS 2020.

Mirisnya, para pengunjuk rasa itu berkumpul di tengah pandemi Covid-19. Di samping itu, mereka terlibat bentrok dengan aparat keamanan untuk memasuki arena kongres.

Mereka memenuhi balkon dengan bendera Amerika Serikat, tetapi sulit menyebut ini adalah tindakan nasionalis.

Jika diselidiki, mereka melakukan pengepungan lantaran terdorong kekecewaan.

Donald Trump mengetahui mentalitas pendukungnya, sehingga mudah baginya untuk membangkitkan emosi hanya melalui cuitan yang kini ditangguhkan oleh Twitter.

Dulu, bangsa Indonesia diremehkan terlalu konservatif karena sering membahas agama dan suku yang dianggap menghambat kemajuan. 

Namun ternyata Amerika yang sudah sangat mapan pun memiliki gejala yang sama.

Apa yang terjadi di Amerika hari ini cukup menyedihkan. 

Negara yang dikenal sangat demokratis menjadi kacau karena hasil Pilpres.

Pada saat yang sama, muncul pertanyaan besar kepada kalangan intelektual di sana.

Mereka tentu tertampar malu karena selama beberapa dekade mempromosikan demokrasi liberal untuk mempengaruhi banyak negara tetapi gagal membuktikannya di negara sendiri.

Sebagian besar media Amerikan pun bertingkah sama rasisnya tanpa ragu menggunakan kata 'supremasi kulit putih' untuk merujuk pendukung Trump.

Silakan Anda melihatnya sendiri, akan ketemu banyak kata white supremacy dari berita tentang Capitol Hill ini.

Dengan kemenangan Joe Biden, kaum kulit putih merasa perlu menyelamatkan kekuatan supremasi mereka yang terancam.

Pada akhirnya, ini semua hanya tentang kekuasaan, harga diri, dan apa yang harus dipertahankan.

Semua kelompok, besar dan kecil, akan beradu keras mendapat kekuasaan karena memiliki peluang yang sama. Itulah demokrasi, indah namun mahal dalam pelbagai segi.

Ketika orang kulit berwarna berhasil membantu kemenangan Joe Biden, kini orang kulit putih yang terpaksa hidup merana.

Bagaimana dengan Indonesia? 

Ini perbandingan yang sulit karena Indonesia juga memiliki kekurangan dalam proses pemilihan presiden.

Tapi Indonesia setidaknya lebih baik dalam mencegah perpecahan besar antar kelompok sosial di masyarakat.

Pada akhirnya, kita memiliki satu posisi daya tawar dari Amerika sebab mereka tidak memiliki kosakata legawa dari kekalahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun