Untunglah, tahun 2011 curah hujan kembali normal membasahi Kabupaten Sampang dan Sumenep dengan kemarau panjang sehingga mendukung produksi garam. Mereka akhirnya bisa mencicil sebagian utangnya.
Di sisi lain, garam impor lebih banyak dibutuhkan oleh industri Tanah Air sebagai bahan baku dan bahan penolong untuk industri atau disebut garam industri. Misalnya, industri CAP, makanan dan minuman, farmasi, pertambangan, dan lain-lain.
Tahun 2020, impor garam untuk industri makanan dan minuman sebesar 467.800 ton, laporan Bisnis.com. Impor dilakukan karena kualitas garam nasional diklaim tidak memenuhi kualtias NaCl di atas 97 persen sesuai kebutuhan industri.
Garam petani disebut hanya berada di tingkat 81-96 persen. Akan tetapi, Sekretaris Jenderal Aliansi Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia Faisal Badawi mengatakan kualitas garam lokal tidak kalah dibanding garam impor. Garam lokal ini, katanya, digunakan juga oleh beberapa perusahaan, dikutip dari CNBC Indonesia.
Hujan yang turun sedari akhir tahun 2020, juga menjadi antisipasi bagi petani garam. Tgk Fauzi, petani garam di Pidie, Aceh, melakukan pengolahan garam dengan cara memasak karena curah hujan tinggi tidak memungkinkan dia memakai metode plastik, laporan serambinews.com, 15 Desember 2020.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI