Membaca cuitan tersebut, apa yang disampaikan Firdza tentu merupakan hal wajar, bukan berarti dia tidak tahu bersyukur, sebagaimana disampaikan warganet dalam kolom balasannya.
Ungkapan syukur adalah perkara individual. Kehadirannya ke manusia terasa tiba-tiba seperti awal kedatangan pandemi Covid-19.
Vaksin gratis adalah hak rakyat Indonesia. Ketika vaksin gratis menjadi hak, maka tidak ada lagi kejutan. Tidak ada kejutan, tidak ada yang perlu disyukuri. Semuanya berjalan normal.
Ketua Dewan Profesor Universitas Padjajaran, Arief Anshory Yusuf, melengkapi persoalan ini melalui opininya di harian Kompas edisi 17 Desember 2020.
Arief lebih dulu menyampaikan apresiasi atas keputusan pemerintah menggratiskan vaksin. Namun, selanjutnya ia menuliskan, tidak ada vaksin gratis sebab rakyat Indonesia akan menanggung biayanya secara gotong royong. Pemerintah hanya berperan sebagai juru bayar.
Perkiraan itu dihitung berdasarkan kemungkinan tidak tercapainya herd immunity bila ada pembedaan vaksinasi mandiri dan subsidi. Data juga menjadi persoalan untuk menentukan siapa rakyat miskin yang berhak menerima vaksin gratis. Tidak semua rakyat miskin terdaftar dalam PBI BPJS.
Itu belum hitung-hitungan cost and benefit yang kemungkinan dapat menghambat jalan pemulihan ekonomi nasional bila masalah vaksinasi berlarut-larut.
Pengetahuan memang dapat menunda niat untuk bertutur terima kasih. Tetapi, itu tidak berarti menghilangkan nilai syukur dalam tiap manusia, hanya masalah waktu.
Kasihan rakyat Indonesia, sampai harus berterima kasih & apresiasi kepada Presiden atas apa yang seharusnya menjadi HAK rakyat Indonesia ; yaitu vaksin gratis.
Suasana bernegara ini sangat menyedihkan.--- Beruang Kutub (@firdzaradiany) December 16, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H