Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Saya Pikir Plonco Sudah Tamat di Era Digitalisasi, Eh Kok Masih Eksis

16 September 2020   04:16 Diperbarui: 16 September 2020   13:31 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi merasa cemas dan takut mengikuti kegiatan online. (sumber: unsplash/@thomascpark)

Praktik perpeloncoan di Universitas Negeri Surabaya yang baru-baru ini menjadi viral di media sosial telah membuka kembali wacana tentang bagaimana seharusnya meletakkan mahasiswa secara egaliter di dunia akademis.

Dalam video yang beredar, terlihat bagaimana sikap mahasiswa senior selaku komisi disiplin PKKMB salah satu fakultas menegur mahasiswa baru yang menurutnya melanggar aturan. 

Si senior pun membentak si mahasiswa baru dengan nada tinggi yang disaksikan mahasiswa lain dan tidak kurang jutaan warganet saat cuplikan video tersebut viral kemarin. 

Uniknya, bentakan itu disampaikan secara online mengingat pelaksanaan ospek dilakukan secara live streaming akibat masa pandemi Corona.

Banyak warganet memprotes cara tersebut. Dan beberapa di antaranya juga membela si panitia dengan alasan bahwa ucapan yang membentak merupakan latihan untuk mengukur mentalitas mahasiswa.

Alasan klise ini selalu menjadi landasan untuk membenarkan tindakan perpeloncoan dengan cara-cara tidak pantas demi menguji mentalitas seseorang.

Saya sangat ragu terhadap uji coba mentalitas semacam ini layak diberikan kepada mahasiswa atau pelajar lain. 

"Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa solidaritas antarmahasiswa. Jikalau peka, maka si senior dan petinggi kampus mestinya menyadari bahwa tekanan realita hidup itu sudah keras."

Sebab tidak ada jaminan bahwa perpeloncoan berbanding lurus dengan hasil akhir bahwa mentalitas mahasiswa baru akan semakin kuat di masa-masa mendatang.

Toh, tridharma perguruan tinggi menuntut civitas akademika untuk berjalan pada pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian kepada masyarakat.

Jelas sekali bahwa perguruan tinggi meneruskan cita-cita mahasiswa untuk menjadi seorang berbudi luhur untuk kemanusiaan. 

Pihak rektorat Unesa selaku otoritas tertinggi sudah memberi klarifikasi atas kejadian tersebut.

Rektor Nurhasan dalam keterangan resmi mengatakan bahwa pihaknya menyayangkan kejadian tersebut dan mengakui adanya kesalahan koordinasi pelaksanaan PKKMB di salah satu fakultas.

"Unesa menjadikan ini sebagai catatan evaluasi penting yang diharapkan menjadi masukan untuk perbaikan dalam pengelolaan kegiatan mahasiswa ke depan," tulis poin pernyataan resmi Unesa bertandatangan Nurhasan diunggah di akun Twitter @Official_UNESA, Selasa (15/9/2020).

Video aktivitas ospek daring mahasiswa baru di Kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) viral. (repro bidik layar/ISTIMEWA via kompas.com)
Video aktivitas ospek daring mahasiswa baru di Kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa) viral. (repro bidik layar/ISTIMEWA via kompas.com)

Pada poin selanjutnya, pihak rektorat mengharapkan bahwa kampus menjadi institusi pendidikan yang kondusif dan aman demi terciptanya lulusan yang berkualitas.

Sayangnya, komitmen semacam ini justru terungkap setelah kasus perpeloncoan beredar luas. Kondisi yang sama mirisnya ketika praktik perpeloncoan tidak manusiawi terjadi pada tahun lalu di Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun, Ternate, Maluku Utara.

Laporan Kompas.com, video ospek yang beredar kala itu di bulan Agustus memperlihatkan mahasiswa baru menaiki anak tangga dengan jalan berjongkok dan meminum air yang bercampur ludah secara estafet.

Kementerian Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dalam pernyataan resmi menyesalkan kejadian tersebut dan menentang tindakan perpeloncoan.

"Lingkungan sekolah dan kampus semestinya menjadi lingkungan untuk tiap-tiap anak bangsa belajar dan berkembang dengan suka cita," tulis akun @ditjen_belmawa dikutip dari Kompas.com 31 Agustus 2019.

Dan contoh-contoh perpeloncoan lain sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya bahkan sampai merenggut nyawa mahasiswa baru. Semua mengutuk perpeloncoan.

Tetapi kasus di Unesa seolah membuktikan adanya kealpaan terhadap kasus-kasus sebelumnya. Lantas mengapa perpeloncoan ini terulang?

Alasannya, lagi dan lagi, sangat umum bahwa senior hanya melaksanakan tugas mereka selaku komisi disiplin. Pernyataan ini cuma menunjukkan ketidakmampuan berpikir si panitia yang bebal dan absen terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Ulasan saya tentang ketidakmampuan berpikir pernah saya tulis di Kompasiana tiga tahun lalu dan dapat di baca di link ini.

Dan berikutnya, bentak-membentak ini dianggap sebagai bentuk persiapan mahasiswa yang akan menghadapi dunia pekerjaan dengan beban kerja tinggi. Amarah mahasiswa senior masih kalah daripada menghadapi HRD saat wawancara kerja atau bos di pekerjaan.

Asumsi sesat itu harus dihapuskan. Justru isu tekanan di dalam dunia kerja merupakan problem besar dunia ketenagakerjaan dewasa ini. Jangan menganggapnya sebagai sebuah kewajaran.

Pun dalam beberapa pekerjaan, saya cukup sering mendapati karyawan dan petinggi berada dalam posisi setara dalam menyampaikan pendapat dan masukan. Pola kerja ini dibentuk oleh para millenial perintis usaha startup. Semua terlihat egaliter dalam berpendapat (kecuali soal pendapatan).

Di sisi lain, bukankah lebih baik mendukung mahasiswa menjadi wirausaha ketimbang sebagai karyawan?

Atau diajak berpikir tentang bagaimana mahasiswa harus menyadari betapa berharganya mereka dalam mengubah Indonesia dari cengkeraman kekuasaan.

Tentu dalam mengandaikan bahwa mahasiswa kelak menjadi calon pengusaha, maka perlakuan panitia ospek kepada mahasiswa baru akan berbeda. Tidak mungkin seorang pengusaha mendapat bentakan.

Atau memang kelak mahasiswa ini didorong untuk mengabdi sebagai peneliti dengan ciri khas gaya berpikir yang kritis.

Itupun tidak dilakukan dengan cara membentak, melainkan dengan gaya retorika, sebuah seni bagaimana satu kalimat dapat meruntuhkan seribu argumen lawan.

Ini lumrah dalam debat ilmiah dengan syarat dua pihak yang berdebat diberi kesempatan untuk menyampaikan argumen mereka. Masing-masing berdebat keras mempertahankan argumennya.

Berbeda dengan perploncoan di mana pesan komunikasi disampaikan dalam satu arah yaitu hanya berasal dari suara panitia atau pihak kampus. Mahasiswa cukup menjadi partisipan.

Ketika ruang diskusi itu tertutup tanpa melibatkan peran aktif mahasiswa baru, maka media sosial akan membuka itu semua. 

Dan sayangnya, pesan yang keluar di media sosial, kebanyakan kasus-kasus perpeloncoan yang tidak pantas dan tidak bersuka cita. Nuansa semacam ini yang terus menghantui ospek di Indonesia. Terlebih saat Indonesia mengalami krisis akibat pandemi sekarang.

Krisis yang sama-sama kita sadari telah menyebabkan masalah finansial serius kepada tiap individu, ancaman kesehatan yang sewaktu-waktu siap menyergap manusia dan lain sebagainya.

Jikapun secara kebetulan si mahasiswa senior bertemu mahasiswa baru yang bersikap sopan dan suka meminta maaf, lalu si senior jengkel karena sikap demikian, maka menjadi pertanyaan, apa yang sebenarnya ingin diharapkan selain melanggengkan kebiasaan bahwa si senior itu gila hormat, merasa paling benar dan maunya menguasai.

Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa solidaritas antarmahasiswa. Jikalau peka, maka si senior dan petinggi kampus mestinya menyadari bahwa tekanan realita hidup itu sudah keras. 

Dan dekat-dekat ini, kita bersiap untuk ancaman resesi. Maka, tidak perlu membuktikan ketangguhan orang sebab kualitasnya tidak jauh sia-sia dengan menggarami air laut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun