Praktik perpeloncoan di Universitas Negeri Surabaya yang baru-baru ini menjadi viral di media sosial telah membuka kembali wacana tentang bagaimana seharusnya meletakkan mahasiswa secara egaliter di dunia akademis.
Dalam video yang beredar, terlihat bagaimana sikap mahasiswa senior selaku komisi disiplin PKKMB salah satu fakultas menegur mahasiswa baru yang menurutnya melanggar aturan.Â
Si senior pun membentak si mahasiswa baru dengan nada tinggi yang disaksikan mahasiswa lain dan tidak kurang jutaan warganet saat cuplikan video tersebut viral kemarin.Â
Uniknya, bentakan itu disampaikan secara online mengingat pelaksanaan ospek dilakukan secara live streaming akibat masa pandemi Corona.
Banyak warganet memprotes cara tersebut. Dan beberapa di antaranya juga membela si panitia dengan alasan bahwa ucapan yang membentak merupakan latihan untuk mengukur mentalitas mahasiswa.
Alasan klise ini selalu menjadi landasan untuk membenarkan tindakan perpeloncoan dengan cara-cara tidak pantas demi menguji mentalitas seseorang.
Saya sangat ragu terhadap uji coba mentalitas semacam ini layak diberikan kepada mahasiswa atau pelajar lain.Â
"Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa solidaritas antarmahasiswa. Jikalau peka, maka si senior dan petinggi kampus mestinya menyadari bahwa tekanan realita hidup itu sudah keras."
Sebab tidak ada jaminan bahwa perpeloncoan berbanding lurus dengan hasil akhir bahwa mentalitas mahasiswa baru akan semakin kuat di masa-masa mendatang.
Toh, tridharma perguruan tinggi menuntut civitas akademika untuk berjalan pada pendidikan dan pengajaran; penelitian dan pengembangan; dan pengabdian kepada masyarakat.