“Pasal ini bahaya dan memberatkan untuk anak-anak independen. Seandainya mereka mengajukan izin lalu tidak disetujui, aparat bisa masuk ke acara mereka lewat pasal ini,” kata pengamat musik Wendi Putranto dikutip dari CNNIndonesia.com.
Sebagian orang nampaknya sepakat bahwa draf RUU Permusikan ini tidak perlu ada. Lalu bagaimana menyampaikan penolakan tersebut?
Jika pun suara penolakan sudah disampaikan, apa jaminan pendapat berseberangan tersebut akan diakomodir anggota DPR RI? Selama ini daya tawar yang paling kuat adalah adu banyak jumlah massa, kemudian menciptakan sensasi. Hal pertama menyangkut kuantitas sementara yang terakhir menyangkut kualitas.
Nah, Jerinx termasuk dalam barisan kelompok terakhir, ia tidak memiliki basis massa di media sosial sebanyak Anang dan Ashanty untuk menentukan suatu kebenaran. Kebenaran memang tidak selalu mengandalkan jumlah dukungan, melainkan seberapa tangguh kebenaran itu dapat dipertahankan. Perlawanan di antara kedua kubu terus berlanjut yang pada akhrinya menyerupai by standing effect, banyaknya pendukung Anang dan Ashnaty turut mempengaruhi sikap warganet untuk ikut mengecam tindakan tidak sopan Jerinx, terutama setelah akun IG Lambe Turah memosting kembali postingan Jerinx.
Orang-orang mengira bahwa si Jerinx memiliki kepentingan atau maksud lain yang bertujuan untuk menaikkan popularitas di jagat maya alias panjat sosial. Jerinx dicap sebagai musisi kehabisan job, sebaliknya, Jerinx menganggap mereka adalah domba.
Domba yang berarti hanya menurut pada sang gembala. Bisakah mereka yang menolak cara Jerinx SID dianggap sebagai domba? Tidak. Namun label ini akan melekat seandainya warganet tetap kekeuh berbicara di luar substansi persoalan, yaitu mengkritisi pasal 5 dan pasal 32 atau keseluruhan draf RUU permusikan. Apalagi isu ini diprediksi bakal awet dipertahankan Jerinx dalam perlawanannya mengingat sifat keras kepalanya.
Label atau cap yang serampangan merupakan tindakan licik dan sempit. Seperti Rocky menyebut orang dungu, dia sebenarnya mengetahui bahwa dia juga memiliki keterbatasan berpikir. Namun, keberadaan label menunjukan bahwa pihak yang bertikai berada dalam level yang setara.
Kembali kepada label domba. Label ini akan tidak bernilai seandainya Anang dalam posisinya sebagai anggota DPR RI memberikan penjelasan atas RUU Permusikan. Dan agar fair, Anang harus memberikan penjelasan kepada pendukungnya bahwa apa yang disampaikan Jerinx merupakan hal yang patut diapresiasi, bukan membiarkan cara berpikir pendukungnya. Anang seolah membenarkan masalah kenegaraan dapat diselesaikan dengan cara yang sopan dan baik yang jika dibiarkan lama kelamaan bakal menjauhkan dan mengaburkan substansi persoalan.
Persoalan pelik kehidupan bernegara saat ini adalah pemahaman kita dalam memandang pejabat negara. Kita kerap memaklumi kekeliruan para pejabat negara karena menganggap mereka adalah seorang manusia biasa.
Padahal, semasa kampanye, janji-janji dan slogan mereka yang terucap dan tertulis bak menggambarkan seorang Superman yang bisa menghapus penderitaan manusia Indonesia. Pejabat negara bermental manusia biasa ini lebih baik dicopot atau mengundurkan diri ketimbang kian menyusahkan dirinya dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H