Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Cebong dan Kampret, Kini Ada Pendatang Baru: Domba

3 Februari 2019   19:08 Diperbarui: 4 Februari 2019   00:01 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adanya cap atau label diperlukan untuk memudahkan seseorang mengetahui dan mendefinisikan keruwetan realita dan fenomena. Semisal, si Fulan membeli 3 nasi goreng kepada teman-temannya, namun dua orang temannya ingin diberi tambahan telur ceplok. Karena kemasan makanan sama, maka Fulan memberi label berupa karet merah untuk nasi goreng tanpa telur.

Ketimbang harus membuka satu per satu kemasan, si Fulan berpikir akan lebih praktis memakai warna karet untuk membedakannya. Teman-teman si Fulan tidak perlu repot memeriksa satu per satu kemasan nasi goreng, mengaduk dan menyelidiki isi nasi goreng untuk memastikan tidak ada telur goreng dalam nasi goreng tersebut.

Sesederhana itulah cap atau label bekerja sampai merembet terhadap persoalan ideologi dan selera. Jika seseorang nampak mengesankan diri sebagai pendukung Jokowi, maka dicaplah sebagai cebong, begitu sebaliknya ketika berhadapan dengan pendukung Prabowo yang dikenal sebagai kampret. Fenomena ini seolah memberi penjelasan bahwa Pilpres saat ini hanya mengakomodir dua label: cebong dan kampret.

Itu soal selera, lain hal dalam menyindir cara berpikir: akal sehat dan dungu. Diksi ini populer setelah akademisi Rocky Gerung bertahun-tahun gemar menuduh orang-orang yang kurang memaksimalkan nalarnya dalam berpikir dan membuat keputusan sebagai si dungu.

Sebenarnya, dalam keadaan alamiah, semua orang berpotensi dungu atau memang benar-benar dungu akibat sejarah orang tersebut. Namun karena keberadaan Rocky Gerung yang merupakan oposisi pemerintah, label dungu sering dilekatkan pada pendukung Jokowi.

Sangat teramat sangat boleh dikatakan bahwa keadaan masyarakat Indonesia saat ini memang dihadapkan pada cap atau label besar: cebong, kampret dan dungu. Jika bukan kampret, ya cebong. Jika bukan cebong, ya kampret. Jika ada yang mengamuk, ya dungu. Sesederhana itu.

Sebagian orang yakin bahwa label cebong, kampret, dan dungu bakal hilang selepas Pilpres. Tapi naga-naganya itu mustahil. Saya sempat beberapa kali mendengar imbauan dan nasihat pejabat, tokoh-tokoh agama, negara, dan masyarakat yang meminta para pendukung masing-masing paslon untuk berhenti mengatakan lawan mereka sebagai cebong atau kampret. Mereka yakin bahwa cara demikian bakal memberikan kualitas Pemilu 2019 yang sehat, aman dan damai, sekaligus mengurangi potensi munculnya gesekan atau perpecahan di tengah masyarakat. Tapi kenyataannya, ya begitu, tidak juga mempan. Hahaha.

Nah, setelah cebong, kampret dan dungu, baru-baru ini ada satu label yang menggentayangi masyarakat Indonesia, terlebih warganet Twitter. Label baru itu adalah domba.

Kepada siapakah label domba itu disematkan? Jawabannya dapat diketahui melalui postingan Instagram drummer Superman Is Dead, Jerinx. Sebab dialah orang pertama yang mencetuskan kata tersebut melalui postingan di Instagram, kemarin (2/2/2019). Singkat cerita, domba itu adalah julukan untuk pendukung Anang-Ashanty.

“Fans Anang Ashanty gak lebih dari sekumpulan domba penakut yg beraninya cuma main report. Sama kaya majikannya, dikit-dikit lapor...” isi beberapa bait dari keterangannya di Instagram. 

Postingan tersebut sudah hilang diduga akibat serangan report dari warganet, namun beberapa warganet yang mendukung mulai memakai istilah domba untuk melabeli kelompok seberang.

Secara sederhana, Jerinx, menurut penulis, menganggap warganet yang melaporkan (report) postingannya merupakan orang (atau akun) yang takut menghadapi kritik, lalu  memilih jalan pintas untuk melenyapkan sumber kritik tersebut.

Label domba ini agak berbeda dibanding cebong, kampret, dan dungu sebab tiga label terakhir ini mempunyai asosiasi dan latar yang jelas asal-usulnya. Konon, julukan cebong mulai mencuat setelah putra Jokowi mengenakan topi bertuliskan kolektor kecebong, sementara label kampret muncul setelah para cebong menilai orang-orang yang berseberangan terhadap pemerintah adalah orang-orang yang berpikir dengan posisi terbalik?

Sementara domba, tidak memiliki asosiasi atau latar yang jelas. Ini adalah metafora yang dipakai Jerinx untuk melabeli ketidakpahaman para pendukung Anang-Ashanty dalam menyeleksi persoalan RUU Permusikan. Sejak persoalan RUU Permusikan mencuat ke permukaan beberapa waktu belakangan, Jerinx kerap menyerang Anang secara verbal. Anang adalah anggota DPR RI yang juga menginisiasi terbentuknya RUU Permusikan.

Jerinx yang berlatar belakang musisi punk yang menciptakan banyak lagu mengenai masalah sosial meluapkan kritiknya kepada Anang dengan gaya kasar dan bahasa-bahasa yang tidak ingin terkesan sopan. Silakan cek akun IG dan Twitter Jerinx untuk mendapat gambaran yang lebih luas. 

Meski buruk, kabar baiknya bagi demokrasi, ternyata Indonesia tidak kehabisan orang-orang alias pemberontak untuk melawan segala bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi. Ini bakal menjadi potret bangsa Indonesia yang mulai lepas dari bayang-bayang suram pembungkaman era Orde Baru.

Ia mempersoalkan keberadaan RUU Permusikan yang disebut menjadi prioritas DPR RI untuk diselesaikan tahun ini. Kritik itu menyasar beberapa pasal, di antaranya pasal 5 dan pasal 32 yang sebenarnya termasuk aneh untuk dimasukan sebagai produk hukum.

Pasal 5 itu berbunyi, ‘Musisi dilarang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antar kelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan harkat serta martabat manusia.’ Jika dimaknai secara universal, pasal 5 ini bakal cenderung menyeret para musisi masuk dalam persoalan hukum karena tafsirannya yang sangat terbuka dan tidak menentu untuk memastikan terpenuhinya unsur provokatif, penodaan agama dan sebagainya dari karya musisi.

Kritik senada disampaikan CNNIndonesia.com namun menyoroti pasal lain terkait teknis pertunjukan. Dalam artikelnya pada 31 Januari 2019 lalu, disebutkan draf RUU Permusikan memiliki pasal-pasal ’lucu’, yaitu pasal 18, 19, dan 42 yang mengatur tentang pertunjukan musik dan pelestarian budaya.

Dikutip dari CNNIndonesia.com, disebutkan bahwa pasal 18 berbunyi, ‘Pertunjukan Musik melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara Musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan Musik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.

Artinya, masih dari sumber yang sama, setiap pertunjukan musik yang diselenggarakan di Indonesia harus memiliki lisensi dan izin usaha. Peraturan itu tidak menjadi masalah bagi promotor pertunjukan musik besar, baik yang menampilkan musisi luar atau dalam negeri.

Namun, eksistensi para pelaku pertunjukan yang tidak memiliki lisensi bakal terancam, padahal pergerakan mereka sebenarnya banyak mengakomodir para musisi kecil untuk bisa tampil menunjukkan aksi mereka.

“Pasal ini bahaya dan memberatkan untuk anak-anak independen. Seandainya mereka mengajukan izin lalu tidak disetujui, aparat bisa masuk ke acara mereka lewat pasal ini,” kata pengamat musik Wendi Putranto dikutip dari CNNIndonesia.com.

Sebagian orang nampaknya sepakat bahwa draf RUU Permusikan ini tidak perlu ada. Lalu bagaimana menyampaikan penolakan tersebut? 

Jika pun suara penolakan sudah disampaikan, apa jaminan pendapat berseberangan tersebut akan diakomodir anggota DPR RI? Selama ini daya tawar yang paling kuat adalah adu banyak jumlah massa, kemudian menciptakan sensasi. Hal pertama menyangkut kuantitas sementara yang terakhir menyangkut kualitas.

Nah, Jerinx termasuk dalam barisan kelompok terakhir, ia tidak memiliki basis massa di media sosial sebanyak Anang dan Ashanty untuk menentukan suatu kebenaran. Kebenaran memang tidak selalu mengandalkan  jumlah dukungan, melainkan seberapa tangguh kebenaran itu dapat dipertahankan. Perlawanan di antara kedua kubu terus berlanjut yang pada akhrinya menyerupai by standing effect, banyaknya pendukung Anang dan Ashnaty turut mempengaruhi sikap warganet untuk ikut mengecam tindakan tidak sopan Jerinx, terutama setelah akun IG Lambe Turah memosting kembali postingan Jerinx.

Orang-orang mengira bahwa si Jerinx memiliki kepentingan atau maksud lain yang bertujuan untuk menaikkan popularitas di jagat maya alias panjat sosial. Jerinx dicap sebagai musisi kehabisan job, sebaliknya, Jerinx menganggap mereka adalah domba.

Domba yang berarti hanya menurut pada sang gembala. Bisakah mereka yang menolak cara Jerinx SID dianggap sebagai domba? Tidak. Namun label ini akan melekat seandainya warganet tetap kekeuh berbicara di luar substansi persoalan, yaitu mengkritisi pasal 5 dan pasal 32 atau keseluruhan draf RUU permusikan. Apalagi isu ini diprediksi bakal awet dipertahankan Jerinx dalam perlawanannya mengingat sifat keras kepalanya.

Label atau cap yang serampangan merupakan tindakan licik dan sempit. Seperti Rocky menyebut orang dungu, dia sebenarnya mengetahui bahwa dia juga memiliki keterbatasan berpikir. Namun, keberadaan label menunjukan bahwa  pihak yang bertikai berada dalam level yang setara.

Kembali kepada label domba. Label ini akan tidak bernilai seandainya Anang dalam posisinya sebagai anggota DPR RI memberikan penjelasan atas RUU Permusikan. Dan agar fair, Anang harus memberikan penjelasan kepada pendukungnya bahwa apa yang disampaikan Jerinx merupakan hal yang patut diapresiasi, bukan membiarkan cara berpikir pendukungnya. Anang seolah membenarkan masalah kenegaraan dapat diselesaikan dengan cara yang sopan dan baik yang jika dibiarkan lama kelamaan bakal menjauhkan dan mengaburkan substansi persoalan.

Persoalan pelik kehidupan bernegara saat ini adalah pemahaman kita dalam memandang pejabat negara. Kita kerap memaklumi kekeliruan para pejabat negara karena menganggap mereka adalah seorang manusia biasa.

Padahal, semasa kampanye, janji-janji dan slogan mereka yang terucap dan tertulis bak menggambarkan seorang Superman yang bisa menghapus penderitaan manusia Indonesia. Pejabat negara bermental manusia biasa ini lebih baik dicopot atau mengundurkan diri ketimbang kian menyusahkan dirinya dan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun