Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bantahan atas Cuitan Budiman Sudjatmiko tentang Krisis Literasi Luar Biasa

2 Januari 2019   00:59 Diperbarui: 2 Januari 2019   01:30 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar cuitan akun twitter @budimansudjatmiko

Kemajuan teknologi yang menakjubkan manusia tidak lantas diartikan bahwa ada suatu material yang mampu melampaui eksistensi manusia.

Pertanyaan sederhananya, adakah suatu barang ciptaan manusia yang mampu menghancurkan manusia itu? Ya, ada. 

Pisau misalnya, sebuah material padat dengan salah satu bagian tajam yang mampu menembus kulit manusia lalu merobek bagian vital di dalam perut manusia, kemudian orang itu mengalami pendarahan, mati.

Pisau adalah alat sekaligus produk sejarah. Mengapa demikian? Sebab, pisau itu memang dirancang dan dibentuk manusia. Pisau tercipta menurut pada ide manusia. Ia tidak seperti pohon yang secara natural ada di dunia ini. Ia harus dibentuk dan rancangannya adalah ide manusia.

Namun, kita tidak semestinya menganggap pisau adalah sesuatu yang mengancam manusia. Apa yang sebenarnya menakutkan itu adalah sudut tajam, sudut runcing. Benda tajam yang dengan mudah menembus dan memutuskan urat manusia. Maka, tajam ditandakan sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan dan mematikan.

Sebagaimana diketahui, pisau bukanlah satu-satunya benda tajam dan runcing. Peluru, kaca, kawat dan sebagainya juga mempunyai sisi tajam. Gelas plastik yang tidak dicetak sempurna ternyata memberikan sudut tajam pada salah satu sisi atas gelas yang jika tesentuh bibir, maka berdarah.

Karena itu, kita menandai tajam sebagai sesuatu yang mematikan dan menyakitkan. Akan tetapi, jika seseorang berkat, "Tatapannya tajam kepadaku", apa tatapan itu merupakan sebuah pertanda kematian? Tidak juga.

Kita barangkali menafsirkan tatapan semacam itu merupakan upaya seseorang untuk menyampaikan teror kepada lawan, atau bisa jadi sesuatu yang menggenitkan untuk merayu seseorang, dan sebagainya. Itulah manusia dan segala idenya. 

Sesuatu yang tajam yang memberikan rasa sakit dan kematian pada nyatanya dapat menjadi sesuatu yang istimewa dan indah. Orang takut pada kematian, tapi menikmatinya juga. Ketika musuh bebuyutan mati, bukankah itu indah?

Politisi Budiman Sudjatmiko dalam twitter, Selasa (1/1/2018) mengatakan, "Kita mengalami krisis literasi luar biasa shg pidato politik mengutip teori2 usang sisa Abad ke20 atau serpihan ide filsafat awal Abad ke 20 sudah dianggap keren...Nasib bangsa."

Krisis adalah koentji dari cuitan tersebut. Budiman menyoroti suatu kemunduran dari politkus yang mengambil teori-teori abad ke-20 dan filsafat awal abad ke-20.

Memang dia tidak menyebutkan secara detail, teori apa yang dimaksud? Namun, kita dapat menerka, bahwa yang ia maksud barangkali segala teori mengenai kebudayaan, politik, sosial, yang semuanya berada dalam satu rumpun ilmu sosial, politik, atau apalah itu asal bukan eksakta.

Filsafat (awal) abad ke-20 secara garis besar merupakan sebuah kemajuan lebih lanjut dari periode sebelumnya. Bahkan, filsafat abad ke-20 boleh dikatakan memutarbalikan segala kemapanan filsafat periode sebelumnya. Postmodernisme, Neo-Marxisme, Neo-Hegelianisme.

Pada saat modernisme, rasionalisme dan humanisme mencapai puncaknya, pada kenyatanya, orang-orang justru bertanya, curiga, dan tidak puas. Masih ada yang perlu diperbaiki, ada yang salah, atau memang ada yang tidak memuaskan dari isme-isme di atas.

Jika memang humanisme dan rasionalisme itu merupakan suatu terang bagi manusia dan dunia, mengapa orang-orang harus terlibat dalam perang dunia saat itu?

Hal yang dianggap mengasyikan itu ternyata mempunyai suatu rasa sakit, perih dan sebagainya.

Singkat kata, tidak ada yang benar-benar baru di dunia saat ini. Apa yang dibayangkan Budiman Sudjatmiko sebagai krisis literasi hanya bualan dan omong kosong.

Karena pijakan semua pembicaraan politik, menurut hemat saya, ya berasal dari filsafat itu tanpa perlu merunut waktunya, apa berasal dari pencerahan, skolastik, atau postmodernisme.

Isi twitter Budiman Sudjamitko yang mengeluhkan orang-orang usang itu tetap saja merupakan ide yang sebenarnya ada dalam filsafat abad ke-20 yang dikritiknya.

Jika yang dimaksud Budiman adalah kurangnya kecapakan orang dalam membicarakan Revolusi Indsutri 4.0, toh tetap saja ada yang salah dan ada yang perlu diperbaiki dari Revolusi Industri 4.0.

Toh, yang asyik-asyik dari Revolusi Industri 4.0 ternyata menyimpan hal yang tidak nikmat pula. Revolusi Indsutri 4.0 itu merupakan rangkaian sejarah. Kemajuan teknologi tidak mungkin ada tanpa melewati periode-periode usang tersebut.

Tapi, ya kita memang harus mencapai klimks dalam Revolusi Indsutri 4.0 untuk dapat menemukan kontradiksi tersebut.

Siapa yang sudah siap menuju Revolusi Industri 4.0?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun