Musim hujan tak kunjung menampakan tanda akan berakhir di pertengahan Februari. Tanpa waktu yang jelas, udara dingin begitu kencang menyusup melalui ventilasi dan celah-celah kecil dinding kayu. Awan mendung di luar sana merintangi orang-orang untuk tidak berkeliaran terlalu lama pada siang ini.
Aku menyandarkan punggung di atas kursi ketika seseorang menyelipkan sebuah amplop di bawah pintu. Jari-jarinya membentuk siluet akibat sinar matahari yang memantul. Amplop itu kemudian terdorong kencang masuk ke dalam rumah sebelum akhirnya berhenti beberapa jengkal dari celah pintu yang mulai kehilangan pantulan cahaya matahari.
Aku beranjak dari kursi setelah memastikan bayangan orang itu telah lenyap dari bawah pintu. Selembar surat terlipat dari dalam amplop dengan bahasa yang agak bertele-tele. Namun sebaris kalimat pembukaan menyadarkan aku bahwa surat ini hanya bagian permulaan agar aku selanjutnya segera menemui penyidik Kepolisian.
Polisi itu menyambut kehadiranku dengan pandangan yang curiga pada setiap gerak badanku. Aku selanjutnya menarik lepas mantel dari badan tanpa membelakanginya sehingga dia dapat leluasa melihat bentuk badan orang tua bercampur aroma tanah pemakaman.
"Anda melihat dia mati saat itu?" tanya penyidik itu dengan tatapan tajam.
"Ya."
"Dia mati tepat di depan badanmu, di atas sebuah meja dengan kepala menunuduk dan aku pikir, Anda seharusnya menyadari bahwa dia sudah mati saat itu."
"Dia masih hidup."
"Anda yakin dia masih hidup saat itu?"
"Aku percaya, dia masih hidup saat itu."
"Kedengaran sangat sederhana, namun dia sudah mati setengah jam sebelum pelayan mengangkat tubuhnya keluar dari kursi. Sementara Anda selama itu tidak berbicara kepadanya, tidak menegurnya, tidak ada apapun yang Anda lakukan saat itu. Anda diam selama setengah jam saat kematiannya. Apa saya harus memulai penyelidikan ini dengan menyimpulkan bahwa Anda adalah pembunuhnya?"