Satu tahun lalu, pada tanggal yang sama 18 Desember. Kim Jonghyun meninggal. Penyebab kematian aroma beracun briket batu bara. Karbon monoksida memenuhi kamar apartemen. Jonghyun menghirupnya.
Saya bukan penggemar Jonghyun. Saya tidak mendengar lagu SHINee. Hanya setelah kematian itu diumumkan, saya sempat mendengar beberapa lagunya meski sepintas. Saya bukan juga bagian dari penggemar besar SHINee.
Akan tetapi, saya harus mengakui satu hal. Saya adalah Kim Jonghyun. Kok bisa, seorang warga Indonesia bertampang pas-pasan, tapi masih sedikit tampanlah, menyamakan dirinya kepada seorang megabintang Korea? Aneh beranak ajaib. Tetapi terimalah kenyataan ini. Saya adalah Kim Jonghyung. Saya masih hidup. I'm alive! Suka atau tidak, kebenaran itu pahit.
Seminggu setelah kematian itu, Natal tiba. Natal tahun lalu adalah pengulangan seperti tahun-tahun sebelumnya. Suka cita untuk umat Nasrani. Yesus telah lahir ke dunia. Saya merayakannya, pergi ke gereja, mengirim pesan ucapan selamat Natal kepada orangtua, saudara, teman-teman, dan semua penghuni bumi yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu.
Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga damai di bumi. Itu kira-kira pesan yang saya kirim dan saya terima saat Natal tahun lalu.
Di televisi, semua iklan juga ingin menyampaikan pesan bahwa Natal adalah suka cita. Namun, saya sekarang ini tidak mengingat satu patah kata pun homili Pastor yang memimpin misa Natal saat itu.
Karena itu, Natal tahun lalu boleh dikatakan tidak mengubah hidup saya, kecuali karena ada libur yang diberikan kantor khusus untuk saya.
Tulisan ini telah bercerita tidak karuan dan melebar kemana-mana. Baiklah, saya kembali mengingatkan Anda, para pembaca: Saya adalah Kim Jonghyun SHINee. Percaya atau tidak, silakan.
Kim Jonghyun sebagaimana diberitakan banyak media nasional dan internasional, memilih mengakhiri hidupnya karena depresi. Dugaan ini hanya pandangan terbatas yang bisa diungkapkan dan dimengerti manusia. Depresi? Tidak. Saya hanya mengenal kata sederhana: kesendirian, kesepian.
Tahun lalu, 2017, Natal itu adalah kesendirian. Uang pas-pasan. Saya pergi bermain ke kediaman teman. Lantas ia bertanya, mengapa saya tidak mudik untuk merayakan Natal bersama keluarga? Pertanyaan sederhana dan biasa bagi saya.
Ada dua alasan, duit pas-pasan dan waktu libur sangat singkat untuk bisa berkumpul bersama keluarga yang jarak rumah mereka sangat panjang dari kediaman saya saat itu. Saya tidak mungkin mudik Natal dalam kondisi keduanya. Itu mimpi buruk.