Para kondektur silih berganti menawarkan kota-kota yang menjadi tujuan dan perlintasan bisnya. Pekikan suara lebih tingi. Maju, mundur, berangkat, ayo, Jogja, Boyo (Surabaya) dan nama lainnya.
Apa salahnya saya singgah di salah satu warung sambil menunggu teman yang akan menjemput. Suara-suara tadi menjadi nada yang biasa ketika menikmati makanan dan segelas kopi. Seorang lelaki datang mengambil makanan, membayarnya, sejurus kemudian ia pergi. Lelaki lain datang lagi. Bagaikan kilat, waktu santapnya tidak sampai satu menit, lalu pergi. Seterusnya, orang-orang yang datang berlaku seperti ini selama hampir setengah jam berjalannya waktu. Mereka adalah kondektur dan supir bis yang hanya singgah di terminal ini.
Setelah keluar dari terminal, suasana mulai berubah pelan-pelan. Teman saya mengendarai kendaraannya menjauh dari terminal.
Sepanjang perjalanan, saya bercerita perjalanan sejak keberangkatan hingga akhirnya tiba di kota ini. Entah sampai dimana cerita itu, saya tertidur karena kelelahan yang menumpuk semalam suntuk.
Dua tahun berlalu. Oleh karena panggilan kerja, saya kembali menginjakkan kaki di Kota Solo. Empat hari lalu, pagi yang ramai, jam tujuh. Saya turun di tempat pemberhentian Terminal Tirtonadi.
Pintu keluar timur itu masih dalam ingatan. Saya ingin ke sana, menambal perut dengan makanan kecil. Namun, tidak ada lagi warung-warung. Langkah kaki terhenti, mencoba melihat ke atas, langit yang luas di atas kepala waktu itu. Tidak ada langit, kecuali beton yang menjadi atap.
Saya mengambil jalan yang salah. Bergerak lagi sembari mengingat memori dua tahun yang lalu. Petugas berseragam mencegat saya. Salah lagi. Semua penumpang yang turun harus masuk melalui pintu masuk terminal.
Ketika masuk, sambutan dari beberapa tukang ojek menawarkan jasanya, namun saya menolak. Saya bertanya kepada bapak ini, dimana letak pintu keluar timur. Tangannya menunjuk ke arah perjalanan saya yang semula.
Sebelum beranjak, saya merasa ada yang berbeda. Tempat ini tidak seperti terminal dalam bayangan dan realitanya selama ini. Pekikan suara yang ramai memanggil penumpang atau nama lainnya tidak seramai dahulu.
Ada loket penjualan di sini dengan petugas berseragam rapi. Lagi-lagi imajinasi menjadi kacau. Dalam pandangan mata, wajahnya baru sekaligus asing. Mulai dari pintu masuk, kemudian petunjuk arah untuk menemukan bis tujuan dibuat teratur. Ada penanda untuk jalur mereka yang berkebutuhan khusus.