Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perubahan dan Keanehan di Terminal Tirtonadi Solo

10 September 2017   04:34 Diperbarui: 10 September 2017   22:20 8185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan menuju Pintu Timur Terminal (Dokumentasi Pribadi)

Saya hendak bertandang ke kediaman teman. Hari Raya Idul Fitri dua tahun lalu. Dari Jakarta menuju kota Solo. Keramaian dan hilir mudik orang-orang di Terminal Pulo Gadung seperti yang selalu diberitakan oleh media.

Semua perantau yang mengadu nasib memulai langkahnya dari terminal. Begitu juga ketika ia beranjak pulang menemui sanak saudara.

Hari itu, pos pengamanan lebaran terlihat mulai dari jalan masuk. Keadaan memberitahu bahwa tempat ini adalah zona rawan untuk mereka yang mudik.

Di hari-hari biasa, kerawanan di dalam terminal adalah cerita dari mulut ke mulut entah sejak kapan mulanya. Mereka yang bekerja di sana  telah terbiasa atau beranjak dari stigma jalanan yang buruk di terminal. Keadaan yang menuntut kepekaan dan kecepatan untuk berburu penumpang. Sementera bagi penumpang, tidak ada kenyamanan.

Terminal adalah dinamika yang kompleks. Ia adalah tempat pemberangkatan, tempat penumpang menunggu bis ke kota tujuannya. Namun realita di sana akan menampakkan wajah berbeda. Orang-orang melihat peluang dan dapat bertindak melenceng dari fungsi yang telah disebutkan.

Suasana semacam ini tentu akan mengaktifkan pikiran setiap orang. Saat itu, saya berada di antara percaya atau tidak sama sekali terhadap orang-orang. Was-was terhadap sekitar. Ah, bukan hanya saya sendiri yang berpikir demikian. Orang-orang lain pun menaruh perasaan yang sama.

Tidak ada jalan lain selain mendengar perbincangan para penjual tiket: apakah bis sudah tiba atau belum, mencontek tiket penumpang, barangkali sama dengan saya.

Memang tidak semua menjadi kaku dan serba mencemaskan, namun sulit menemukan orang-orang yang mampu menuntaskan tanda tanya saya. Maklum, ini adalah perjalan pertama saya menuju Solo.

Bis saya entah berapa lama lagi datang. Bertanya kepada agen dan petugas terminal selalu bermuara pada tema: ini suasana Idul Fitri. Dalam waktu yang tidak pasti ini, saya harus mencari cara untuk melenyapkan kejenuhan dan kebosanan.

Akhirnya saya dapat berbicara dengan penumpang-penumpang lain. Praduga awal saya tadi ternyata terbantahkan. Mereka berbicara tentang kampung halaman, sanak saudara, dan pengalaman mereka selama bertahun-tahun menjalankan ritual mudik. Rasa was-was itu hilang.

Bis berhenti di terminal Titonadi Kota Solo. Debu-debu terangkat dari tanah. Suara kerikil dari cengkeraman ban. Saya membayar dua ratus rupiah kepada petugas, lalu berjalan di antara warung-warung. Pintu keluar Timur ada di ujung jalan.

Para kondektur silih berganti menawarkan kota-kota yang menjadi tujuan dan perlintasan bisnya. Pekikan suara lebih tingi. Maju, mundur, berangkat, ayo, Jogja, Boyo (Surabaya) dan nama lainnya.

Apa salahnya saya singgah di salah satu warung sambil menunggu teman yang akan menjemput. Suara-suara tadi menjadi nada yang biasa ketika menikmati makanan dan segelas kopi. Seorang lelaki datang mengambil makanan, membayarnya, sejurus kemudian ia pergi. Lelaki lain datang lagi. Bagaikan kilat, waktu santapnya tidak sampai satu menit, lalu pergi. Seterusnya, orang-orang yang datang berlaku seperti ini selama hampir setengah jam berjalannya waktu. Mereka adalah kondektur dan supir bis yang hanya singgah di terminal ini.

Setelah keluar dari terminal, suasana mulai berubah pelan-pelan. Teman saya mengendarai kendaraannya menjauh dari terminal.

Sepanjang perjalanan, saya bercerita perjalanan sejak keberangkatan hingga akhirnya tiba di kota ini. Entah sampai dimana cerita itu, saya tertidur karena kelelahan yang menumpuk semalam suntuk.

Dua tahun berlalu. Oleh karena panggilan kerja, saya kembali menginjakkan kaki di Kota Solo. Empat hari lalu, pagi yang ramai, jam tujuh. Saya turun di tempat pemberhentian Terminal Tirtonadi.

Pintu keluar timur itu masih dalam ingatan. Saya ingin ke sana, menambal perut dengan makanan kecil. Namun, tidak ada lagi warung-warung. Langkah kaki terhenti, mencoba melihat ke atas, langit yang luas di atas kepala waktu itu. Tidak ada langit, kecuali beton yang menjadi atap.

Saya mengambil jalan yang salah. Bergerak lagi sembari mengingat memori dua tahun yang lalu. Petugas berseragam mencegat saya. Salah lagi. Semua penumpang yang turun harus masuk melalui pintu masuk terminal.

Ketika masuk, sambutan dari beberapa tukang ojek menawarkan jasanya, namun saya menolak. Saya bertanya kepada bapak ini, dimana letak pintu keluar timur. Tangannya menunjuk ke arah perjalanan saya yang semula.

Sekarang saya baru sadar, mungkin inilah wajah baru dari tiang-tiang beton dahulu. Warung-warung yang berjejer tadi hanyalah sementara waktu. Di sana ia telah diganti menjadi pencucian bis.

Sebelum beranjak, saya merasa ada yang berbeda. Tempat ini tidak seperti terminal dalam bayangan dan realitanya selama ini. Pekikan suara yang ramai memanggil penumpang atau nama lainnya tidak seramai dahulu.

Ada loket penjualan di sini dengan petugas berseragam rapi. Lagi-lagi imajinasi menjadi kacau. Dalam pandangan mata, wajahnya baru sekaligus asing. Mulai dari pintu masuk, kemudian petunjuk arah untuk menemukan bis tujuan dibuat teratur. Ada penanda untuk jalur mereka yang berkebutuhan khusus.

Loket Penjualan Tiket di dalam Terminal (Dokumentasi Pribadi)
Loket Penjualan Tiket di dalam Terminal (Dokumentasi Pribadi)
Suara-suara mesin bis kedap dari dalam sini. Saya menemukan warung makanan, masih tetap berada di timur. Di sana juga menjadi pintu masuk untuk mereka yang menyeberang dengan jembatan dari Stasiun Bengawan Solo.

Membayangkan terminal seperti ini adalah suatu keanehan. Bukan, bukan! Mungkin saya yang aneh, gagap dengan perubahan. Saya berada di antara kenyamanan. Inilah esensi perubahan. Bahkan saya tidak berani merebahkan badan untuk dapat tidur di sepanjang lorong.

Namun, bagaimanapun rupa-rupa yang ditawarkan melalui ketertiban dan keteraturan, saya toh tetap dapat berbicara dengan orang-orang di sini. Tidak ada yang berubah dari sebuah perbincangan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun