Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspadai Sikap-sikap Reaksioner kepada Jonru Ginting

5 September 2017   05:17 Diperbarui: 5 September 2017   06:30 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jonru Ginting berbicara di ILC (sumber:medan.tribunnews.com)

Bermula dari perdebatan, kini Jonru Ginting menemukan namanya di catatan kepolisian. Ia dilaporkan  Muannas Al Aidid yang menudingnya telah mempublikasi ujaran kebencian secara provokatif dan terus-menerus di media social, seperti dilansir dari bbc.com (1/9).

Jonru kerap menuliskan teks yang bernada tidak mengenakkan batin sebagian pihak. Ia sangat potensial untuk dijerat dengan tuduhan provokasi, bahkan kemarin ia dilaporkan lagi oleh pengacara Muhamad Zakir Rasyidin ke Mapolda Metro Jaya, seperti dilansir dari kompas.com (4/9). Nampaknya ia telah menyadari atau harus disadarkan bahwa tulisannya bagaimanapun juga akan mempunyai tendensi untuk menyulut kemarahan orang-orang.

Setiap manusia terlahir dan mengerti untuk tetap menjaga kehormatan dirinya dan juga harus mampu berlaku adil untuk menghormati orang lain. Tidak ada perkecualian. Bagi pemeluk agama, tidak sulit memberi tahu bahwa keyakinan kita tidak boleh direndahkan karena itu juga berarti merendahkan martabat kita sebagai manusia.

Ada keprihatinan jikalau benar ia merasa tidak ada yang salah dengan tulisannya yang mempertanyakan asal-usul keluarga Presiden Joko Widodo yang dianggapnya belum mempunyai kejelasan.

Khalayak dapat menebak arah pelaporan ini. Namun, situasi yang akan terjadi sangat tergantung mengingat kesohoran Jonru di dalam jagat maya telah memposisikan dua kubu: mereka yang pro dan kontra.

Selanjutnya adalah kekhawatiran, sekaligus juga akan menunjukkan keunikkan negeri kita: bagaimana seharusnya menyikapi ujaran-ujaran kebencian atau hasutan yang dapat mengundang perpecahan.

Pelaporan Jonru ke pihak kepolisian telah membentangkan dikotomi: pantas dan tidak pantas. Berangkat dari sini, secara tidak langsung, ada suatu tekanan yang memaksa warganet dan masyarakat lainnya untuk berpikir ulang sebelum menuliskan sesuatu. Maksudnya, janganlah mencoba untuk berpikir seperti Jonru.

Hal ini sangat menjengkelkan dan aneh. Dikotomi tadi sudah merasuk ke dalam nalar khalayak. Publik merasa muak atas lalu lintas 'sumbu pendek' di jagat maya dan mereka menginginkan sebuah pembalasan yang tepat. Mereka takut dapat teracuni oleh konten-konten yang diciptakan Jonru sehingga berusaha keluar dan mencari jalan untuk menyingkirkannya.

Saya sungguh menyayangkan fenomena yang menampakkan begitu rendahnya dialektika jagat maya kita.  Wacana belum dapat diterima sebagai pertarungan ideologi dan marjinalisasi. Orang-orang ingin terlihat gagah dibalik rasa takut dan kecemasannya. Mereka telah mencapai kebahagiaannya, namun tidak pernah tahu bagaimana menikmati kebebasan.

Label untuk menentukan pro dan kontra harus terlihat terang. Ini adalah desakan yang menuntut segalanya harus dijalankan dengan mudah dan cepat. Intelektual yang menyayangkan pelaporan terhadap Jonru akan ditendang masuk ke dalam kubu pendukung, meskipun pada dasarnya ia tidak mempunyai motif dan niat untuk mendukung Jonru. Semuanya akan melenceng dan bengkok menjadi pro dan kontra, hitam-putih, baik buruk, benar dan salah.

Apa yang terjadi dengan jagat maya seumpama orang-orang yang menjadi paranoid selesai membaca cerita-cerita horor. Ketakutan itu sesuatu yang wajar dan manusiawi. Namun, ia tersesat dan terus diselimuti oleh hantu-hantu yang merasuk pikirannya.

Semua penulis menceritakan dengan latar yang sama bahwa pocong-pocong sedang asyik menunggu di balik pohon pisang. Ia melupakan kebebasannya bahwa ia sendiri mampu menghadapi setan tersebut, bagaimanapun caranya, ia akan mencari tahu dan membaca lebih banyak untuk menuntaskannya.

Ini yang telah dan kira-kira akan terjadi dalam diskursus kita. Pembaca terjebak akibat terlalu meyakini bahwa 'kata telah mewakili realita.' Seakan-akan bahasa telah mampu menceritakan realita secara sempurna.

Satu waktu, Fowler menerangkan bahwa bahasa merupakan 'jaring makna', bahwa sebenarnya pemahaman akan realita adalah pemilihan kata-kata yang telah terdistorsi oleh subyektifitas manusia. Realita dari kata-kata tidaklah tepat untuk menjelaskan dan menerangkan realita itu sendiri. Semua orang memakai jaring (ideologi) membuat pilihan-pilihan kata yang tersedia begitu banyak untuk menjelaskan satu realita.

Itulah sebabnya, ambillah satu contoh, di balik kata-kata mengancam, terselip juga suatu tanda tanya yang membuat orang bergumul dalam batinnya. Mengapa aku mengatakan itu? Apakah aku harus menariknya kembali? Di tangan pembaca, tulisan yang dianggapnya buruk tidak dipikirkan dalam waktu yang panjang. Malahan yang sering terjadi adalah sebuah tindakan reaksioner atas makna yang diterimanya.

Sikap gegabah menghadapi dunia wacana dapat menjelaskan bahwa baik penulis maupun pembaca, masing-masing berada pada posisi yang mudah tersulut untuk melempar banyak pernyataan sentimental yang pada akhirnya mengundang kemarahan.

Pada akhirnya kita menemukan suatu keadaan balas dendam, bukan suatu dialektika. Untunglah Indonesia tidak mempunyai sanksi atau hukuman untuk pembaca-pembaca yang lalim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun