Semua penulis menceritakan dengan latar yang sama bahwa pocong-pocong sedang asyik menunggu di balik pohon pisang. Ia melupakan kebebasannya bahwa ia sendiri mampu menghadapi setan tersebut, bagaimanapun caranya, ia akan mencari tahu dan membaca lebih banyak untuk menuntaskannya.
Ini yang telah dan kira-kira akan terjadi dalam diskursus kita. Pembaca terjebak akibat terlalu meyakini bahwa 'kata telah mewakili realita.' Seakan-akan bahasa telah mampu menceritakan realita secara sempurna.
Satu waktu, Fowler menerangkan bahwa bahasa merupakan 'jaring makna', bahwa sebenarnya pemahaman akan realita adalah pemilihan kata-kata yang telah terdistorsi oleh subyektifitas manusia. Realita dari kata-kata tidaklah tepat untuk menjelaskan dan menerangkan realita itu sendiri. Semua orang memakai jaring (ideologi) membuat pilihan-pilihan kata yang tersedia begitu banyak untuk menjelaskan satu realita.
Itulah sebabnya, ambillah satu contoh, di balik kata-kata mengancam, terselip juga suatu tanda tanya yang membuat orang bergumul dalam batinnya. Mengapa aku mengatakan itu? Apakah aku harus menariknya kembali? Di tangan pembaca, tulisan yang dianggapnya buruk tidak dipikirkan dalam waktu yang panjang. Malahan yang sering terjadi adalah sebuah tindakan reaksioner atas makna yang diterimanya.
Sikap gegabah menghadapi dunia wacana dapat menjelaskan bahwa baik penulis maupun pembaca, masing-masing berada pada posisi yang mudah tersulut untuk melempar banyak pernyataan sentimental yang pada akhirnya mengundang kemarahan.
Pada akhirnya kita menemukan suatu keadaan balas dendam, bukan suatu dialektika. Untunglah Indonesia tidak mempunyai sanksi atau hukuman untuk pembaca-pembaca yang lalim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H