Beberapa waktu belakangan, seruan yang menguatkan Pancasila terdengar kuat. Para tokoh bangsa dan negarawan hadir untuk berbicara.
Menjadi masuk akal sebab yang disentuh dalam pembicaraan adalah soal raison d'etre,cikal-bakal lahirnya 'dasar' sebagai pondasi kuat suatu negara. Apabila ada gagasan besar yang hendak menggerogoti 'dasar' tersebut, ada dikotomi untuk menegaskannya. Satu contoh, label 'kontra' disinyalkan kepada Hizbut Tahrir Indonesia yang mengusung sistem Khilafah untuk Indonesia.
Berangkat dari perspektif ini, urusan yang menyangkut hafal atau tidaknya butir-butir Pancasila tidak perlu dipersoalkan. Pancasila adalah dasar negara. Lebih tegas lagi: Pancasila sudah final! Di sana ada nilai-nilai dan falsafah yang 'harus' dimunculkan kembali ke tengah masyarakat.
Apakah kita sudah bersikap untuk menghormati martabat sesama kita? Apakah kita telah menghormati agama dan keyakinan yang dianut masyarakat kita? Apakah kita telah memberi pertolongan kepada sesama agar ia dapat berdiri dengan kakinya sendiri? Apakah kita suka bekerja keras dan tidak pernah berputus asa? Apakah kita sudah mengutamakan musyawarah dalam untuk kepentingan bersama?
Pada ranah kemasyarakatan, yang dekat dengan kehidupan seharihari, secuil pertanyaan di atas akan membantu kita menemukan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Jawabannya akan terlihat lebih baik apabila setiap individu atau kelompok-kelompok yang ada mau menjadikannya sebagai bahan refleksi.
Jauhkan dulu, kalau perlu buanglah dikotomi 'kontra' yang sudah dilabelkan pada HTI. Atau juga kepada ormas lain. Kecenderungan berpikir untuk meniadakan hanya akan menyisakan persoalan baru jikalau tidak menyertakan jalan untuk menyelesaikannya. Falsafah adalah lembar-lembar kebijaksanaan yang membutuhkan pikiran-pikiran dinamis dan terbuka akan segala kemungkinan. Â
Sebagai pembanding, media sosial  yang menjadi santapan kita sehari-hari nyatanya arena untuk membesarkan bibit-bibit yang kontradiksi terhadap Pancasila. Berita-berita kebohongan, kolom-kolom komentar yang menghujat dan merendahkan derajat manusia tidak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu memenuhi linimasa. Saya dapat saja menuduh mereka yang melakukannya telah mencederai sila kedua Pancasila.
Jadi, bukanlah soal siapa yang benar atau salah, siapa yang sejalan atau menyimpang. Saya berpikir tidak ada kata 'pembalasan' dalam arti negatif untuk mempertahankan Pancasila. Ini akan menjadi kekeliruan sebab Pancasila itu sendiri lahir dari perjalanan panjang bangsa Indonesia yang pernah dilanda konflik dan perpecahan. Pencarian yang dimulai dengan negatifitas hanya akan menunjukkan deskripsi semata tanpa ada angan-angan atau imajinasi yang membahagiakan.
Imajinasi akan keadilan, meski betapa utopisnya gagasan ini, inilah naluri yang dimiliki seorang manusia Pancasila. Setelah itu, masing-masing di antara kita yang berdiri di antara kemajemukan telah mempunyai pandangan dan pilihan yang kokoh.
Saya yakin, dalam benak masing-masing persatuanlah yang menjadi pilihan tertinggi. Amat disayangkan di saat pemerintah memutuskan untuk membubarkan suatu organisasi, meskipun dalam rangka mempertahankan Pancasila, di sisi lain ada ironi yang mencelakakan kebebasan berpendapat yang akan memerdekakan manusia. Ada yang luput dari perhatian pemerintah bahwa rakyat Indonesia dalam beberapa tempo waktu yang telah dilewatinya sudah mampu berpikir politike onafhankelijkheid (political independence)
Akan tetapi, dalam hal bernegara, pemerintah telah menjalankan tugas untuk memberi definisi (batasan) menurut wewenangnya. Pancasila sudah final, tidak perlu lagi perdebatan. Bagaimanapun tidak ada ukuran setengah matang untuk diberikan pada dasar negara.
Toh yang menjadi persoalan adalah implementasi nilai-nilai Pancasila. Pemerintah boleh saja menegur pihak-pihak yang berseberangan, akan tetapi haruslah adil untuk menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup para pejabat dan tokoh penting di negeri ini. Sederhana saja: tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat boros dan gaya hidup mewah. Manusia Pancasila, dalam perilaku lebih luas, tidak mau berhenti hanya sampai pada dukungan kepada Garuda Muda atau apalah-apalah itu yang sekadar simbolik untuk memuaskan hasrat narsisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H