Mohon tunggu...
Efrem Siregar
Efrem Siregar Mohon Tunggu... Jurnalis - Tu es magique

Peminat topik internasional. Pengelola FP Paris Saint Germain Media Twitter: @efremsiregar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Mahasiswa Tua: Kapan Lulus?

5 Agustus 2016   20:40 Diperbarui: 5 Agustus 2016   21:28 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita boleh saja mendapati Perguruan Tinggi tidak lagi diasuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mantan nampaknya masih susah. Tiada kehidupan mahasiswa yang berbeda padahal setidaknya sudah naik kelas ke Kementerian Riset dan Teknologi.

Yang selalu menjadi bahan renungan sehari-hari yakni tanggung jawab dalam memurnakan waktu studi. Entah dari zaman mana permulaannya, namun fenomena tersebut boleh dikatakan merupakan sebuah masalah. Artinya sedapat mungkin menjauhlah dari masalah.

Bercermin pada pengalaman langsung, saya melihat masalah tersebut pertama kali saat Journee Amicale, orientasi pendidikan yang sesuai bahasanya diberikan kepada mahasiswa baru Bahasa dan Sastra Prancis. Saat satu materi akan disampaikan, suasana mendadak hening, panitia pun seakan canggung. Jumlah mahasiswa baru beserta panitia yang hadir terbilang kurang dari seratus. Saya termasuk dalam barisan para mahasiswa baru.

Namun bukan angka yang hendak saya maksudkan, lebih tepatnya mengenai riwayat penyaji materi tadi. Tegasnya, dia adalah mahasiswa yang masih saja bergelut dalam penyusunan skripsi meski telah melewati ambang batas waktu normatif perkuliahan: empat tahun-delapan semester.

Kejadian itu kelak membenak, hari itu seakan-akan menjadi hari saling sungkan satu sama lain. Kalau saja ada yang berhasrat untuk menguji kenekatannya, tinggal tanyakan saja mengapa dia (kakak) kok masih belum lulus. Untunglah bahwa satu pertanyaan semacam itu tidak terlontar dari umat yang hadir. Namun, saya sebenarnya lupa ada tidaknya di antara kami yang bertanya demikian. Mudah-mudahan dugaan itu benar. Namun, cerita tersebut baru sekuku jari pengalaman yang wara-wiri di kampus manapun.

Dari awalnya mengikuti pengenalan kehidupan kampus sampai orientasi terakhir, tak pernah saya menerima materi yang khusus membahas lika-liku kehidupan mahasiswa yang kelewat batas waktu, tua atau abadi. Tentu ini bukanlah bahan bincang elok yang pantas dan layak disampaikan waktu awal kehidupan kampus. Saya menilai bahwa kampus dengan segala hormatnya sudah cukup menyampaikan bekal, selebihnya biarlah kehendak bebas mahasiswa baru itu untuk memahaminya.

Dan beberapa tahun kemudian saya mengalami itu. Old and never dies. Dengan cap yang telah melekat, tak mungkin dielakkan orang-orang yang lugunya bertanya, kapan lulus atau mengapa lama? Jawaban yang sedianya adalah jawaban yang apa-adanya mesti pula dikesankan seperti cakap besar. Inilah yang lumayan mengibakan hati bahwa hal semacam ini akhir-akhir ini menjadi perbincangan tabu.

Artinya antara kelulusan dan waktu kelulusan nampak-nampaknya hanyalah berbeda setipis helai rambut. Kelulusan yang mestinya menjadi bagian peristiwa suci untuk masing-masing pribadi entah mengapa menjadi tak begitu benar, saya pikir demikian. Untuk apa kita lebih serius mengurusi waktu, lebih sibuk meramalnya?

Dan yang suci tadi terpinggirkan, sebagaimana yang sering terjadi dalam negeri ini, agama dengan segala simbol yang melekat, yang seharusnya suci malahan tercoreng oleh perangai segelintir oknum.

Saya tidak sedang mengerucutkan eksistensi mahasiswa sebatas kepada simbol-simbol tertentu, terlalu luas dan tak akan habis pencapaiannya. Bila Anda membayangkan mahasiswa sebatas pada keutuhannya menghasilkan karya ilmiah, mati suri pula nanti kemanusiaannya. Bila sekadar tuntas dalam hal administrasi, sudah membayar SPP semester, maka mahasiswa tersebut boleh dikatakan hanyalah calon mahasiswa. Apalagi mengidentifikasinya dengan cara yang lazim, semisalnya ada seseorang telah lulus empat tahun dengan Indeks Prestasi yang tinggi bukan main.

Nyata-nyatanya, dalam beberapa peristiwa setelah itu, makna yang paling tinggi terhadap mahasiswa itu akan hilang. Seorang teman yang baru menyemat gelar kesarjanaanya baru-baru ini datang, meminta saran untuk mendapatkan pekerjaan. Saya mencoba mencarikan, namun terbatasnya lowongan yang mengena pada kompetensinya, sedikit pula yang bisa saya beritahu.

Benar bahwa dia sudah lulus dan selesai sebagai mahasiswa. Namun, arti yang saya maksudkan hanyalah selesai dan lulus dari salah satu perguruan tinggi. Bagaimanapun juga di antara kami kelulusan hanyalah nampak soal perbedaan waktu. Tiada pula sempat saya berpikir apa sebab seorang sarjana bertanya kepada seorang mahasiswa. Pertanyaan ini memungkinkan keluar dari pantulan kegelisahan orang.

Dari teman saya tadi, saya kembali bergumam bahwa banyak orang yang tak merasa puas diri dengan gelar sarjana strata satu yang telah didapatkan. Namun pernyataan itu tak berarti memposisikan saya sebagai orang terpuruk yang sebenarnya sedang menggali kuburannya sendiri. Agaknya saya harus menghindari alam pikir yang sudah cukup lama bersemayam ini.

Apapun alasannya, sarjana merupakan sesuatu yang sakral, sebuah amanah yang perlu disadari datang dari seluruh masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ada di sana sudah mengingatkan dengan lebih sederhana: Penelitian, Pendidikan, dan Pengabdian Masyarakat.

Ketiganya merupakan falsafah yang sama persisnya seperti adab kita dalam mengisi kehidupan. Penelitian yang barangkali sungguh-sungguh lebih tepat ditempatkan di perguruan tinggi dengan besarnya ketersediaan dan kesempatan yang diberikan. Pengabdian masyarakat yang disebutkan tadi pun bukanlah sebuah pasal yang semudah itu dapat ditentukan kapan berakhirnya. Sejauh mana itu sudah dilaksanakan, itulah yang patut untuk tetap direnungkan.

Tiada sepatah kata yang menyertakan ‘waktu’ dan ‘kelulusan’ di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun kenyataan berkata lain, secara pragmatis diartikan bahwa purnanya mahasiswa manakala dia telah menyelesaikan semua syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ada orang yang sampai terharu mampu menyelesaikan perkuliahannya. Ini tentu sangat manusiawi, terbebas dari penjara intelektual.

Cerobohnya lagi, ada pula beberapa teman dekat yang begitu tergesa-gesa saat mengerjakan laporan skripsinya. Curiganya, jangan-jangan dia terdorong mengerjakannya karena ada desakan di luar dirinya, khawatir terhadap cemohan atau sindiran yang akan dikatakan orang lain.

Ini tentu sangat mengkhawatirkan, individu mengabaikan adanya otonomi yang menentukan dirinya sebagai  maha-siswa. Dia yang sebenarnya bekerja dalam kuasa yang bukan atas kehendaknya. Dan pikirnya bahwa dengan lulus semua bebannya telah selesai. Dia hanya bisa terlepas dari beban, bukan melawan apalagi menghancurkannya.

Lalu, Intinya, kapan lulus? Entah sejak kapan penelitian, pendidikan dan pengabdian bisa dikatakan selesai dengan begitu saja. Sekiranya memang pertanyaan ini harus keluar, setengah dari pertanyaan tersebut sudah merupakan jawaban, bahwa memang mahasiswa yang bertanya tadi juga harus menempuh lebih lama lagi masa studinya.

Mahasiswa tua yang kelewat batas dan abadi tadi, biarkan saja menyenangkan dirinya untuk berkelana lebih lama. Peralamannya itu semakin lama akan mendorongnya untuk perlu (need to) hengkang dari dunia yang hanya bisa membuatnya terkutuk lebih lama lagi. Saya bukannya bermaksud membela diri ataupun mengatakan pembenaran, namun memang itulah dunia yang sibuk mengajar tanpa mau belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun