Kita boleh saja mendapati Perguruan Tinggi tidak lagi diasuh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mantan nampaknya masih susah. Tiada kehidupan mahasiswa yang berbeda padahal setidaknya sudah naik kelas ke Kementerian Riset dan Teknologi.
Yang selalu menjadi bahan renungan sehari-hari yakni tanggung jawab dalam memurnakan waktu studi. Entah dari zaman mana permulaannya, namun fenomena tersebut boleh dikatakan merupakan sebuah masalah. Artinya sedapat mungkin menjauhlah dari masalah.
Bercermin pada pengalaman langsung, saya melihat masalah tersebut pertama kali saat Journee Amicale, orientasi pendidikan yang sesuai bahasanya diberikan kepada mahasiswa baru Bahasa dan Sastra Prancis. Saat satu materi akan disampaikan, suasana mendadak hening, panitia pun seakan canggung. Jumlah mahasiswa baru beserta panitia yang hadir terbilang kurang dari seratus. Saya termasuk dalam barisan para mahasiswa baru.
Namun bukan angka yang hendak saya maksudkan, lebih tepatnya mengenai riwayat penyaji materi tadi. Tegasnya, dia adalah mahasiswa yang masih saja bergelut dalam penyusunan skripsi meski telah melewati ambang batas waktu normatif perkuliahan: empat tahun-delapan semester.
Kejadian itu kelak membenak, hari itu seakan-akan menjadi hari saling sungkan satu sama lain. Kalau saja ada yang berhasrat untuk menguji kenekatannya, tinggal tanyakan saja mengapa dia (kakak) kok masih belum lulus. Untunglah bahwa satu pertanyaan semacam itu tidak terlontar dari umat yang hadir. Namun, saya sebenarnya lupa ada tidaknya di antara kami yang bertanya demikian. Mudah-mudahan dugaan itu benar. Namun, cerita tersebut baru sekuku jari pengalaman yang wara-wiri di kampus manapun.
Dari awalnya mengikuti pengenalan kehidupan kampus sampai orientasi terakhir, tak pernah saya menerima materi yang khusus membahas lika-liku kehidupan mahasiswa yang kelewat batas waktu, tua atau abadi. Tentu ini bukanlah bahan bincang elok yang pantas dan layak disampaikan waktu awal kehidupan kampus. Saya menilai bahwa kampus dengan segala hormatnya sudah cukup menyampaikan bekal, selebihnya biarlah kehendak bebas mahasiswa baru itu untuk memahaminya.
Dan beberapa tahun kemudian saya mengalami itu. Old and never dies. Dengan cap yang telah melekat, tak mungkin dielakkan orang-orang yang lugunya bertanya, kapan lulus atau mengapa lama? Jawaban yang sedianya adalah jawaban yang apa-adanya mesti pula dikesankan seperti cakap besar. Inilah yang lumayan mengibakan hati bahwa hal semacam ini akhir-akhir ini menjadi perbincangan tabu.
Artinya antara kelulusan dan waktu kelulusan nampak-nampaknya hanyalah berbeda setipis helai rambut. Kelulusan yang mestinya menjadi bagian peristiwa suci untuk masing-masing pribadi entah mengapa menjadi tak begitu benar, saya pikir demikian. Untuk apa kita lebih serius mengurusi waktu, lebih sibuk meramalnya?
Dan yang suci tadi terpinggirkan, sebagaimana yang sering terjadi dalam negeri ini, agama dengan segala simbol yang melekat, yang seharusnya suci malahan tercoreng oleh perangai segelintir oknum.
Saya tidak sedang mengerucutkan eksistensi mahasiswa sebatas kepada simbol-simbol tertentu, terlalu luas dan tak akan habis pencapaiannya. Bila Anda membayangkan mahasiswa sebatas pada keutuhannya menghasilkan karya ilmiah, mati suri pula nanti kemanusiaannya. Bila sekadar tuntas dalam hal administrasi, sudah membayar SPP semester, maka mahasiswa tersebut boleh dikatakan hanyalah calon mahasiswa. Apalagi mengidentifikasinya dengan cara yang lazim, semisalnya ada seseorang telah lulus empat tahun dengan Indeks Prestasi yang tinggi bukan main.
Nyata-nyatanya, dalam beberapa peristiwa setelah itu, makna yang paling tinggi terhadap mahasiswa itu akan hilang. Seorang teman yang baru menyemat gelar kesarjanaanya baru-baru ini datang, meminta saran untuk mendapatkan pekerjaan. Saya mencoba mencarikan, namun terbatasnya lowongan yang mengena pada kompetensinya, sedikit pula yang bisa saya beritahu.