Benar bahwa dia sudah lulus dan selesai sebagai mahasiswa. Namun, arti yang saya maksudkan hanyalah selesai dan lulus dari salah satu perguruan tinggi. Bagaimanapun juga di antara kami kelulusan hanyalah nampak soal perbedaan waktu. Tiada pula sempat saya berpikir apa sebab seorang sarjana bertanya kepada seorang mahasiswa. Pertanyaan ini memungkinkan keluar dari pantulan kegelisahan orang.
Dari teman saya tadi, saya kembali bergumam bahwa banyak orang yang tak merasa puas diri dengan gelar sarjana strata satu yang telah didapatkan. Namun pernyataan itu tak berarti memposisikan saya sebagai orang terpuruk yang sebenarnya sedang menggali kuburannya sendiri. Agaknya saya harus menghindari alam pikir yang sudah cukup lama bersemayam ini.
Apapun alasannya, sarjana merupakan sesuatu yang sakral, sebuah amanah yang perlu disadari datang dari seluruh masyarakat. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ada di sana sudah mengingatkan dengan lebih sederhana: Penelitian, Pendidikan, dan Pengabdian Masyarakat.
Ketiganya merupakan falsafah yang sama persisnya seperti adab kita dalam mengisi kehidupan. Penelitian yang barangkali sungguh-sungguh lebih tepat ditempatkan di perguruan tinggi dengan besarnya ketersediaan dan kesempatan yang diberikan. Pengabdian masyarakat yang disebutkan tadi pun bukanlah sebuah pasal yang semudah itu dapat ditentukan kapan berakhirnya. Sejauh mana itu sudah dilaksanakan, itulah yang patut untuk tetap direnungkan.
Tiada sepatah kata yang menyertakan ‘waktu’ dan ‘kelulusan’ di dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Namun kenyataan berkata lain, secara pragmatis diartikan bahwa purnanya mahasiswa manakala dia telah menyelesaikan semua syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ada orang yang sampai terharu mampu menyelesaikan perkuliahannya. Ini tentu sangat manusiawi, terbebas dari penjara intelektual.
Cerobohnya lagi, ada pula beberapa teman dekat yang begitu tergesa-gesa saat mengerjakan laporan skripsinya. Curiganya, jangan-jangan dia terdorong mengerjakannya karena ada desakan di luar dirinya, khawatir terhadap cemohan atau sindiran yang akan dikatakan orang lain.
Ini tentu sangat mengkhawatirkan, individu mengabaikan adanya otonomi yang menentukan dirinya sebagai  maha-siswa. Dia yang sebenarnya bekerja dalam kuasa yang bukan atas kehendaknya. Dan pikirnya bahwa dengan lulus semua bebannya telah selesai. Dia hanya bisa terlepas dari beban, bukan melawan apalagi menghancurkannya.
Lalu, Intinya, kapan lulus? Entah sejak kapan penelitian, pendidikan dan pengabdian bisa dikatakan selesai dengan begitu saja. Sekiranya memang pertanyaan ini harus keluar, setengah dari pertanyaan tersebut sudah merupakan jawaban, bahwa memang mahasiswa yang bertanya tadi juga harus menempuh lebih lama lagi masa studinya.
Mahasiswa tua yang kelewat batas dan abadi tadi, biarkan saja menyenangkan dirinya untuk berkelana lebih lama. Peralamannya itu semakin lama akan mendorongnya untuk perlu (need to) hengkang dari dunia yang hanya bisa membuatnya terkutuk lebih lama lagi. Saya bukannya bermaksud membela diri ataupun mengatakan pembenaran, namun memang itulah dunia yang sibuk mengajar tanpa mau belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H