Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menempatkan Ketahanan Literasi di Tengah Kegaduhan Politik

23 Agustus 2024   13:50 Diperbarui: 24 Agustus 2024   05:29 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung parlemen Senayan di Jakarta. (Dokumentasi Pribadi) 

Realitas sudah membuktikan, kegaduhan politik bersifat tentatif alias sewaktu-waktu datangnya. Tergantung situasi dan dinamika politik yang tengah terjadi di tanah air.

Pelajaran dari kegaduhan politik tersebut adalah, pentingnya menempatkan ketahanan literasi, agar tidak terjebak dalam post truth informasi. Yakni menyerap informasi dengan pendekatan perasaan bukan literasi.

Ketahanan literasi tersebut adalah sejauh mana memiliki referensi yang memadai. Serta intuisi dalam mencermati fenomena politik yang terjadi, sehingga punya pendirian objektif dalam merespon kegaduhan tersebut.

Bukan sebaliknya larut dalam hngar-bingar kegaduhan, sembari membangun narasi yang berangkat dari pikiran yang keliru. Dimana dalam buku logika komunikasi disebutkan sebagai sebuah kesesatan pikir.

Adapun kesesatan pikir terbagi dua, yakni kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal terkait dengan kekeliruan bentuk penalaran. Sementara kesesatan material berhubungan dengan isi penalaran.

Dalam berdiallektika di ruang publik terkait kegaduhan politik yang mencuat, saya sering mendapatkan narasi dari lawan dialektika yang berangkat dari ksesesatan pikir. Baik kesesatan secara formil maupun material.

Terbaru terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas pencalonan pilkada serentak, seorang kawan membangun narasi bahwa, kegaduhan politik yang terjadi bertujuan agar tahapan pelantikan presiden terpilih diundur. Serta masa jabatan presiden Jokowi diperpanjang.

Saya sampaikan bahwa tidak akan terjadi skenario politik tersebut. Karena hal itu inkonstitusional. Tahapan pelantikan presiden terpilih akan tetap sesuai jadwal pada bulan Oktober 2024. Adapun putusan MK soal ambang batas tidak akan bisa direduksi oleh DPR.

Mengingat keputusan MK bersifat final dalam menguji keberadaan Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) sebagaimana kewenangan MK yang diatur dalam UUD 1945 pasal 24C.

Saya juga tegaskan proses pendaftaran pasangan calon akan tetap berlangsung sesuai jadwal tanggal 27-29 Agustus 2024. Dimana KPUD akan tetap menerima proses pendaftaran berdasarkan putusan MK tanggal 20 Agustus 2024.

Terbukti, rapat pleno DPR akhirnya membatalkan agenda merevisi keputusan MK. Serta pendaftaran pasangan calon pada pilkada serentak, tetap berlaku mengikuti ambang batas yang diputuskan oleh MK.

Benar bahwa pembatalan tersebut tidak lepas dari adanya aksi unjuk rasa menolak rapat pleno DPR di Senayan dan diberbagai daerah. Setiap anak bangsa berhak menyalurkan aspirasi, jika melihat ketidakadilan terjadi di bangsa ini.

Namun sejatinya masih banyak juga anggota DPR yang paham literasi, bahwa putusan MK bersifat final. Dan sebuah kekeliruan jika kewenangan DPR harus dibuat bertentangan dengan kewenangan yang dimiliki MK.

Apapun sorotan terhadap DPR tentu sah-sah saja, selama berada pada koridornya. Serta bertujuan mengingatkan agar tetap berpijak pada konstitusi. Namun yang dihindari adalah, menyertakan narasi sesat pikir yang melanggengkan kegaduhan politik.

Karena apapun kepentingan politik oleh parpol tertentu yang namanya konstitusional, harus ditempatkan di atas segala kepentingan politik tersebut. Ini berlaku bukan hanya untuk parpol, namun juga segenap elemen bangsa.

Itulah sebabnya dalam melihat putusan MK harus disertai literasi. Bahwa merupakan kewenangan dari sebuah lembaga yang dilegitimasi oleh UUD 1945, sehingga ada konsistensi dalam merespons setiap putusan MK.

Tidak dilihat dari pendekatan diakomodirnya kepentingan politik pihak tertentu semata. Atau sebaliknya, tidak diakomodirnya kepentingan politik dari pihak yang lain.

Jika ini yang terjadi, maka ketika putusannya tidak sejalan MK dijustifikasi. Sebaliknya ketika sejalan MK dipuji dan diapresiasi. Ketika berbeda gaduh, ketika terakomodir juga gaduh. Mau jadi apa bangsa ini.

Menjadi sebuah keniscayaan, jika kegaduhan politik seringkali menghadirkan pro dan kontra di ruang publik. Disaat yang sama menghadirkan narasi-narasi yang sulit dibedakan, antara yang bersifat subjektif dan objektif.

Bagi publik yang menerima informasi tanpa disertai literasi akan merespons informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran. Ini tentu fatal, jika jika ternyata informasi tersebut adalah subjektif demi mendegradasi pihak tertentu.

Maka pentingnya ketahanan literasi bagi publik, agar tercerahkan dalam merespons setiap kegaduhan politik. Karena di era digitalisasi ini, informasi berseliweran tanpa bisa dicegah.

Yang dihindari adalah informasi serta narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan terbawa ke dunia nyata. Di mana menjadi instrumen untuk mendegradasi keutuhan bangsa, hanya karena dinamika politik sesaat.

Sekali lagi ketahanan literasi penting demi berkelangsungan keutuhan masa depan bangsa. Memberikan kesadaran narasi atas kegaduhan politik, merupakan bagian dari penguatan literasi di ruang publik.

Bangsa ini sudah teruji dengan berbagai ragam tantangan termasuk gelombang kegaduhan politik. Maka jangan sampai terjadi perpecahan hanya karena lalai dari aspek ketahanan literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun