Terbukti, rapat pleno DPR akhirnya membatalkan agenda merevisi keputusan MK. Serta pendaftaran pasangan calon pada pilkada serentak, tetap berlaku mengikuti ambang batas yang diputuskan oleh MK.
Benar bahwa pembatalan tersebut tidak lepas dari adanya aksi unjuk rasa menolak rapat pleno DPR di Senayan dan diberbagai daerah. Setiap anak bangsa berhak menyalurkan aspirasi, jika melihat ketidakadilan terjadi di bangsa ini.
Namun sejatinya masih banyak juga anggota DPR yang paham literasi, bahwa putusan MK bersifat final. Dan sebuah kekeliruan jika kewenangan DPR harus dibuat bertentangan dengan kewenangan yang dimiliki MK.
Apapun sorotan terhadap DPR tentu sah-sah saja, selama berada pada koridornya. Serta bertujuan mengingatkan agar tetap berpijak pada konstitusi. Namun yang dihindari adalah, menyertakan narasi sesat pikir yang melanggengkan kegaduhan politik.
Karena apapun kepentingan politik oleh parpol tertentu yang namanya konstitusional, harus ditempatkan di atas segala kepentingan politik tersebut. Ini berlaku bukan hanya untuk parpol, namun juga segenap elemen bangsa.
Itulah sebabnya dalam melihat putusan MK harus disertai literasi. Bahwa merupakan kewenangan dari sebuah lembaga yang dilegitimasi oleh UUD 1945, sehingga ada konsistensi dalam merespons setiap putusan MK.
Tidak dilihat dari pendekatan diakomodirnya kepentingan politik pihak tertentu semata. Atau sebaliknya, tidak diakomodirnya kepentingan politik dari pihak yang lain.
Jika ini yang terjadi, maka ketika putusannya tidak sejalan MK dijustifikasi. Sebaliknya ketika sejalan MK dipuji dan diapresiasi. Ketika berbeda gaduh, ketika terakomodir juga gaduh. Mau jadi apa bangsa ini.
Menjadi sebuah keniscayaan, jika kegaduhan politik seringkali menghadirkan pro dan kontra di ruang publik. Disaat yang sama menghadirkan narasi-narasi yang sulit dibedakan, antara yang bersifat subjektif dan objektif.
Bagi publik yang menerima informasi tanpa disertai literasi akan merespons informasi tersebut sebagai sebuah kebenaran. Ini tentu fatal, jika jika ternyata informasi tersebut adalah subjektif demi mendegradasi pihak tertentu.
Maka pentingnya ketahanan literasi bagi publik, agar tercerahkan dalam merespons setiap kegaduhan politik. Karena di era digitalisasi ini, informasi berseliweran tanpa bisa dicegah.