Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Fenomena Klasis Rampi, Otokritik Terhadap Kesenjangan Konektivitas

23 Juli 2024   10:53 Diperbarui: 24 Juli 2024   12:28 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena kehadiran pemuda GKST Klasis Rampi Kabupaten Luwu Utara di acara PRPG di desa Tomata Kabupaten Morowali Utara  yang mendapat banyak atensi dan empati di media sosial, sejatinya menjadi sebuah otokritik terhadap kesenjangan yang menjadi realitas.

Kesenjangan (disparitas) tersebut yakni aspek konektivitas yang belum sepenuhnya membuka aksesibilitas transportasi. Yakni antara daerah Rampi di perbatasan Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan lembah Bada Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).

Kesenjangan itulah yang secara terang benderang dieksplor oleh puluhan pemuda Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Klasis Rampi yang harus berjalan kaki sejauh 36 kilometer selama sehari, demi bisa hadir di acara Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) di desa Tomata provinsi Sulteng.

Bukan sekadar berjalan kaki di medan yang rata, namun melintas gunung, hutan, bukit, tebing curan dan sungai deras yang membutuhkan effort dan perjuangan yang luar biasa. Sebelumnya para Remaja Klasis Rampi juga melakukan hal yang sama, saat mengikuti kegiatan di desa Taripa Pamona Timur.  

Gambaran beratnya medan yang dilintasi tersebut dan viral di media sosial, sukses menarik simpati dan empati bagi Pemuda Klasis Rampi. Bahwa medan berat dan kendala konektivitas, bukan halangan untuk berpartisipasi di event gerejawi.

Namun di satu sisi, menghadirkan rasa prihatin yang mendalam atas potret konektivitas yang berada di jalur trans tengah Sulawesi perbatasan Sulteng dan Sulsel. Prihatin karena jemaat GKST dan warga Rampi, masih harus berjibaku dengan kendala konektivitas yang hingga kini belum teratasi.

Persiapan melintasi jalur sungai. | Dok FB David Charlos Koyo
Persiapan melintasi jalur sungai. | Dok FB David Charlos Koyo

Potret kesenjangan konektivitas sejatinya bukan hanya di perbatasan Sulteng-Sulsel, namun juga di sejumlah basis GKST lainnya di wilayah Sulteng. Di mana sejatinya memiliki potret realitas kesenjamgan yang menghambat mobilitas publik.

Seperti diketahui wilayah pelayanan GKST yang luas sebagian besar berada di pelosok pedesaan. Di mana ada jemaat yang kondisi aksesibilitas infrastruktur jalannya kurang mantap, sehingga berdampak pada aktivitas dan pelayanan warga dan jemaat setempat.

Jika saja pemuda dari klasis lain turut mengeksplor kondisi aksebilitas yang kurang mantap alias rusak parah di media sosial, maka netizen akan memperoleh referensi dan juga akan memberi atensi yang sama.

Untungnya pemuda Klasis Rampi tanggap dan mampu memanfaatkan instrumen digitalisasi untuk memberi referensi sekaligus edukasi di ruang publik. Tak ada umpatan, cibiran, bahkan apriori, saat melintasi medan berat yang menjadi potret kesenjangan konektivitas.

Sebaliknya menjadikan momen perjalanan darat sebagai wujud kegembiraan dalam demensi spritualitas, keteguhan dan kebersamaan. Hanya insan pemuda yang memiliki karakter tercerahkan bisa melakukan hal tersebut. Salut.

Tidak heran jika pemuda Klasis Rampi dinilai nitizen sebagai pemenang sejati di ajang PRPG Tomata yang sudah selesai digelar. Padahal sama sekali tidak mendapat juara dalam lomba olahraga, kesenian maupun kerohanian yang diikuti.

Pemuda Klasis Rampi mengikuti lomba olahraga di PRPG Tomata Morowali Utara. | Dok FB David Charlos Koyo
Pemuda Klasis Rampi mengikuti lomba olahraga di PRPG Tomata Morowali Utara. | Dok FB David Charlos Koyo

Menang yang dimaksud adalah menang dalam konteks keteladanan, inspirasi dan daya juang sebagai insan pemuda. Pemuda yang tidak menyerah dengan situasi, dan tidak kuatir terhadap tantangan yang menghadang.

Juga menang karena telah membuka mata semua pihak khususnya pemerintah,atas realitas kesenjangan konektivitas yang masih menjadi pekerjaaan rumah untuk diatasi.

  • Menang karena sudah memberi otokritik secara elegan, dibungkus atensi dan simpati banyak orang. Atensi dan simpati yang tidak diperoleh Klasis lain, meski punya kesenjangan konektivitas yang sama.

Saya yakin saat melintasi medan perbatasan yang berat, terbersit harapan dari pemuda Klasis Rampi kelak konektivitas ini bisa terbuka dan dilalui kendaraan bermotor secara nyaman. Walaupun entah kapan terealisasi.

Kelak keluarga mereka yang tinggal di wilayah Sulteng tidak lagi bersusah payah berjalan kaki saat pulang kampung, begitupun sebaliknya. Juga mobilitas perekonomian di perbatasan bisa lancar dan meminimalisir biaya tinggi transportasi.

Jika pemerintah pusat dan daerah terketuk hatinya, maka akan mengambil langkah kongkrit lewat kebijakan dan anggaran, untuk secara bersama menangani kesenjangan tersebut secara bertahap.

Demikian pula jika pengurus Sinode dan elemen GKST merasa tersentuh, maka harus dapat membangun komunikasi dengan para kepala daerah yang punya political will terhadap realitas kesenjangan konektivitas, khususnya yang berada di basis GKST.

Sebagai masukan untuk kegiatan PRPG GKST selanjutnya, perlu disisipkan kegiatan seminar atau dialog publik yang menyangkut tema kekinian. Seperti konektivitas, energi, ketahanan pangan, lingkungan, ekonomi desa dan digitalisasi.

Dengan narasumber dari pemerintah, legislatif, lembaga non pemerintah, tokoh masyarakat dan akademisi. Tujuannya agar bisa sharing informasi dan masukan, terkait permasalahan yang dihadapi pemuda, gereja dan masyarakat.

Juga perlu menyisipkan kegiatan workshop atau pelatihan yang terkait skill maupun knowledge pemuda. Seperti passion of knowledge (pengembangan bakat), content creator (membuat konten), content writer (penulis konten), public speaking (kemampuan berbicara) dan sebagainya.

Tujuannya agar kelak pemuda bisa mengeksplor gagasan, inspirasi dan aspirasi, bagi masa depan pemuda, gereja dan peradaban. Semakin banyak gagasan dan inspirasi yang dieksplor ke ruang publik, semakin banyak referensi dan edukasi yang didapatkan.

Tidak perlu banyak pemuda yang ikut workshop, cukup 10-20 orang dari ribuan pemuda yang hadir di PRPG. Sehingga out putnya, bukan hanya menghasilkan prestasi dari kegiatan lomba, namun juga dampak positif dari kegiatan workshop dan dialog publik.

Euforia PRPG sudah berlalu, pemuda GKST kembali ke kehidupan nyata. Perlu diingat, hidup pemuda berdampingan dengan urusan keseharian dan realitas kekinian. Sebagaimana yang dialami pemuda Klasis Rampi, kembali bergumul dengan realitas kesenjangan di depan mata

Simpati dan empati tidak bisa menjadi solusi untuk meretas kesenjangan tersebut. Hanya langkah terobosan dan aksi nyata yang bisa mengatasinya. Karena itu pemuda sebagai generasi penerus bangsa perlu berperan dan berkontribusi nyata lewat passion yang dimiliki.

Tak terkecuali pemuda GKST sebagai garda terdepan Lembaga Keumatan yang memiliki potensi besar, perlu turut berkontribusi bagi masa depan peradaban jemaat dan daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun