Nelayan adalah tulang punggung ekonomi maritim. Garda terdepan dalam dalam mewujudkan kemandirian pangan lokal maupun nasional.
Tanggal 29 Juni 2024 lalu, nelayan di seluruh belahan dunia memperingati hari nelayan internasional. Termasuk nelayan di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng) yang hidupnya bersumber dari sektor maritim.
Seperti diketahui, mata pencaharian nelayan masih menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakat di provinsi Sulteng. Mengingat daerah ini memiliki potensi kelautan dan perikanan yang sangat besar. Meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya.
Provinsi Sulteng sendiri memiliki empat wilayah perairan laut, meliputi Selat Makassar, Laut Sulawesi, Teluk Tomini dan Teluk Tolo. Adapun luas total perairan laut yakni 77.295,9 km2 dengan panjang garis pantai sekitar 6653,31 km serta memiliki 1.604 pulau.Â
Dengan empat wilayah perairan laut yang dimiliki, maka potensi sektor maritim Sulteng sudah pasti kaya dengan beragam jenis perikanan laut. Meliputi berbagai jenis ikan, udang (lobster), kepiting, teripang dan sebagainya.
Tidak salah jika nelayan di Sulteng disebut sebagai tulang punggung ekonomi maritim. Karena dari merekalah berbagai produk perikanan dihasilkan, dan menjadi sumber ketersediaan pangan bagi masyarakat. Â
Terkait dengan hari nelayan internasional tersebut, menjadi momen kontemplasi sudah sejauh mana taraf kehidupan nelayan di Sulteng menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Serta sejauh mana pemerintah memberi perhatian serius terhadap perlindungan dan pemberdayaan nelayan, agar lebih produktif. Serta lebih sejahtera pendapatannya dari hasil usaha yang dilakukan sehari-hari.
Perlindungan dan pemberdayaan dimaksud, merupakan amanat dari Undang-Undang no 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Penambak Garam.
Dimana tujuan perlindungan dan pemberdayaan adalah, untuk menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha nelayan. Serta memberikan kepastian usaha (perikanan) yang berkelanjutan.
Poret Nelayan di Sulteng
Sebagaimana disebutkan dalam UU no 7 tahun 2016, nelayan adalah setiap orang yang mata pencahariannya adalah menangkap ikan. Dimana ada empat kategori nelayan meliputi nelayan kecil, tradisional, nelayan buruh, serta nelayan pemilik.
Nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Baik yang tidak menggunakan kapal penangkap Ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkap Ikan berukuran paling besar 10 gros ton (GT).
Nelayan tradisional adalah nelayan yang melakukan penangkapan ikan di perairan yang merupakan hak perikanan tradisional. Â Dimana telah dimanfaatkan secara turun-temurun sesuai dengan budaya dan kearifan lokal.
Nelayan buruh adalah nelayan yang menyediakan tenaganya yang turut serta dalam usaha penangkapan ikan. Karena tidak memiliki sarana pribadi untuk usaha penangkapan ikan.
Sedangkan nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki kapal penangkap Ikan yang digunakan dalam usaha penangkapan Ikan dan secara aktif melakukan penangkapan Ikan.
Potret empat kategori nelayan tersebut, semuanya ada di wilayah Sulteng. Ini wajar mengingat provinsi Sulteng memiliki garis pantai yang cukup panjang di pulau Sulawesi. Juga memiliki wilayah Kepulauan, dimana masyarakatnya dominan sebagai nelayan.
Keberadaan nelayan kecil, tradisional dan nelayan buruh, merupakan kategori nelayan yang rentan terdampak kemiskinan. Mengingat beragam problematika yang dihadapi dalam  menggeluti mata pencaharian mereka.
Keterbatasan sarana dan prasarana, serta cuaca buruk, adalah sejumlah faktor yang berimbas pada usaha nelayan dalam meningkatkan produksi penangkapan ikan. Tentu sangat riskan, jika nelayan tidak turun melaut. Akan berdampak pada pemasukan pendapatan mereka.
Berdasarkan amanat UU tersebut, sejatinya pemerintah daerah Sulteng lewat Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) telah melakukan upaya pemberdayaan. Yakni lewat berbagai program yang dilakukan guna meningkatkan produktivitas, sekaligus meretas kemiskinan nelayan.Â
Dua aspek ini saling berkaitan, karena jika produktivitas nelayan meningkat, maka akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan hidup mereka. Jika kesejahteraan meningkat, maka angka kemiskinan akan bisa diturunkan.
Bagi nelayan kecil, tradisional dan buruh harus mendapatkan dukungan sarana dan peralatan. Baik berupa perahu tangkap, mesin katinting, tali rumpon, smart fishing, jaring apung, serta peralatan tangkap lain yang dibutuhkan.
Tidak semua nelayan di Sulteng memiliki sarana tersebut. Sementara bantuan pemerintah daerah terhadap sarana tersebut bagi nelayan sangat terbatas. Tidak heran jika ditemui, nelayan yang turun melaut dengan sarana yang terbatas.
Bagi nelayan yang menangkap di laut dalam dengan hasil tangkap lebih banyak, membutuhkan tempat pendaratan ikan (TPI) serta gudang pendingin ikan (cold storage) agar kondisi ikan bisa awet. Juga membutuhkan sarana kapal tangkap yang lebih memadai.
Keberadaan TPI di beberapa daerah di Sulteng ada dalam kondisi kurang memadai. Salah satunya TPI Komaligon di Kabupaten Buol yang sudah ditinjau oleh Dislutkan Sulteng beberapa waktu lalu dan akan segera diperbaiki.
Keterbatasan Dislutkan Sulteng dalam mengakomodir keseluruhan sarana dan peralatan yang dibutuhkan, menjadi kendala dalam memaksimalkan produktivitas nelayan. Belum lagi keterbatasan dalam melakukan pelatihan atau bimbingan teknis (bimtek), guna meningkatkan sumber daya nelayan.
Hilirisasi Untuk Nilai Tambah
Menjadi pertanyaan, mana yang harus didahulukan oleh pemerintah provinsi Sulteng. Apakah mewujudkan kemandirian pangan (maritim) atau mewujudkan hilirisasi perikanan lewat industri pengolahan?
Jika bisa mewujudkan keduanya mengapa tidak. Kemandirian pangan penting untuk ketersediaan  sekaligus, menstabilkan harga pasar. Hilirisasi perikanan juga penting untuk meningkatkan nilai produksi turunan yang dampaknya pada kesejahteraan nelayan.
Berdasarkan data BPS RI, produksi perikanan tangkap Sulteng meliputi perairan laut dan perairan umum darat cukup signifikan. Dimana nencapai 100 ribu hingga 200 ribu ton per tahun.
Hasil tangkapan tersebut bahkan sudah diekspor dalam bentuk bahan mentah ke beberapa negara. Baik di Asia, Eropa maupun Amerika.
Dengan hasil produksi perikanan tangkap yang cukup besar setiap tahunnya, maka peluang untuk agenda hilirisasi perikanan dalam bentuk produk turunan sangat prospek.
Investasi di sektor ini akan memberi impact bukan saja bagi nelayan, namun juga pelaku usaha dan juga daerah. Yakni terbukanya lapangan kerja, serta pemasukan pendapatan daerah.Â
Hilirisasi adalah kebijakan yang mendorong pengolahan bahan mentah di dalam negeri, sehingga produk perikanan yang nantinya diekspor, akan berbentuk produk turunan atau barang jadi.
Sedangkan hilirisasi perikanan bertujuan meningkatkan nilai tambah produk perikanan. Memperkuat struktur industri perikanan dari hulu hingga hilir, serta meningkatkan peluang usaha dalam negeri dan membuka lapangan kerja.
Hilirisasi perikanan merupakan amanat dari UU no 7 tahun 2016 pasal 18. Dimana menyebutkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, menyediakan prasarana usaha perikanan. Lewat ketersediaan prasarana pengolahan dan pemasaran.
Dalam konteks ketersediaan prasarana pengolahan dan pemasaran, pemerintah perlu menggandeng pelaku usaha (investor) sebagai stakeholder hilirisasi. Dimana memberikan dukungan fasilitas serta kemudahan perizinan untuk actionnya.
Sementara di sektor hulu, pemerintah harus optimal memberdayakan nelayan lewat dukungan sarana dan fasilitas yang memadai. Agar produksi bisa meningkat untuk disuplai sebagai bahan baku hilirisasi perikanan.
Merujuk pada potret struktur ekonomi perikanan Sulteng yang didominasi oleh nelayan kecil dan tradisional, maka semangat hilirisasi mustahil terwujud tanpa penguatan ekosistem di sektor hulu.
Peringatan hari nelayan internasional sejatinya relevan dengan akselerasi hilirisasi perikanan di Sulteng. Dalam upaya menjadikan potensi perikanan yang dihasilkan oleh nelayan mempunyai nilai tambah ekonomis
Apalagi Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menyusun peta jalan hilirisasi bahan mentah hingga 2040 yang mencakup 21 komoditas. Empat jenis di antaranya dari sektor perikanan yang meliputi udang, ikan, rajungan dan rumput laut.
Ini kesempatan bagi daerah Sulteng untuk ambil bagian dalam peta jalan hilirisasi komoditi dengan mengoptimalkan sumber daya alam maritim serta meningkatkan pendapatan nelayan di daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H