Selayaknya air sungai yang mengalir hingga ke muara laut, demikian pula dengan air Sungai Jeneberang mengalir hingga ke perairan laut Selat Makassar.
Bagi sebagian orang yang menetap di tepian, Sungai Jeneberang bukan saja menjadi urat nadi yang menjadi bagian kehidupan. Tapi juga sebagai sejarah yang tumbuh dan terukir bersama mereka.
Sejarah dimaksud adalah, keberadaan Sungai Jeneberang bersama alirannya, telah melahirkan peradaban manusia, Baik peradaban masa lalu, maupun peradaban masa kini.
Peradaban masa lalu adalah fase dimana para leluhur berjuang dari tepian Sungai Jeneberang. Hidup mati mempertahankan eksistensi kewilayahan. Agar kelak anak cucu penerus bangsa dapat meneruskan hidup, lepas dari cengkraman penjajahan.
Adapun peradaban masa kini adalah fase dimana para stakeholder mengelola dan menjadikan potensi Sungai Jeneberang, sebagai sumber daya keberlanjutan bagi kehidupan umat manusia, khususnya warga Kota Makassar dan Kabupaten Gowa.
Jejak peradaban masa lalu dan peradaban masa kini di tepian Sungai Jeneberang bisa dilihat saat berkunjung ke lokasi tersebut. Yakni lewat keberadaan sisa Benteng Somba Opu sebagai ikon masa lalu dan Bendungan Karet Jeneberang sebagai ikon masa kini.
Keberadaan jejak dan ikon masa lalu dan masa kini menjadi perjumpaan lintas peradaban yang mengukir kisah kehidupan yang melintasi waktu, dan membawa makna kehidupan tentang pentingnya arti keberlanjutan.
Peninggalan Benteng Somba Opu
Jejak peninggalan Benteng Somba Opu di tepian Sungai Jeneberang kini menjadi destinasi sejarah sebagai bukti dari peradaban masa lalu yang tersisa dan dilestarikan keberadaannya.
Walau tidak utuh selayaknya sebuah benteng yang lazim ditemui, namun onggokan fisik berupa tembok kokoh yang masih tersisa, menjadi spot destinasi yang setiap saat bisa dilihat oleh warga maupun pengunjung yang datang.
Berdasarkan informasi yang tertera di lokasi, Benteng Somba Opu didirikan oleh Raja Gowa IX yang bernama Karaeng Mannuntungi Tumapa'risi Kallonna pada abad ke 16. Kemudian dilanjutkan oleh Raja Gowa XIV Sultan Alauddin dan raja-raja setelahnya.
Pembangunan benteng ini bertujuan melindungi wilayah Somba Opu saat itu dari serangan kompeni Belanda. Dulunya wilayah yang sekarang masuk Kecamatan Barombong itu, menjadi pusat niaga di Kawasan Timur Nusantara yang ramai didatangi pedagang.
Lokasi benteng Somba Opu di tepian Sungai Jeneberang, letaknya sangat strategis tak jauh dari muara Selat Makassar. Bisa dibayangkan sebagai pusat niaga pada masa lalu, kesibukan kapal pelayaran saat melintasi sungai tersebut menuju lautan lepas.Â
Benteng Somba Opu berada di kawasan seluas sekitar 15 ha. Di dalam lokasi, terdapat bangunan rumah adat dari berbagai daerah di Provinsi Sulawesi Selatan. Diantaranya rumah adat Gowa, Bugis, Bone, Toraja dan lainnya. Serta ada juga Baruga Somba Opu.
Selain itu terdapat Museum Karaeng Pattingalloang yang menyimpan koleksi bahan bangunan dari sisa Benteng Somba Opu. Di depan museum yang merupakan bangunan dua lantai tersebut, terpajang sebuah meriam kuno peninggalan masa lalu.
Di bagian belakang lokasi terdapat sisa fisik tembok benteng yang memanjang kurang lebih 200 meter dan tinggi sekitar 7 meter. Sisa tembok ini bisa menjadi bukti, bahwa lokasi tersebut dulunya merupakan benteng pertahanan guna perlindungan dari serangan musuh.
Sisa tembok tersebut juga menjadi simbol adanya perjuangan heroik di masa lalu demi upaya mempertahankan kelangsungan hidup bersama. Namun karena tekad dan kemauan untuk bertahan, tak gentar dalam menghadapi perjuangan tersebut.
Saat berkunjung ke lokasi ini, saya menyempatkan melihat-lihat sejumlah rumah adat daerah yang eksotis. Spot rumah adat sendiri terpencar, sehingga harus berkeliling jika ingin melihat satu per satu rumah adat tersebut.
Namun ada beberapa rumah adat yang dalam kondisi tidak terawat, sehingga perlu penanganan agar bisa lebih baik. Selain itu rerimbunan tanaman yang tidak terpelihara, terkesan mengganggu keberadaan destinasi sejarah tersebut.
Lokasi benteng Somba Opu bisa dikatakan familiar dengan warga Makassar, sehingga menjadi akses jalan bagi pengendara motor yang melintas setiap saat. Apalagi lokasinya di tepian Sungai Jeneberang yang bersentuhan dengan berbagai aktivitas warga setempat.
Sarana Bendungan Karet Jeneberang
Keberadaan Bendungan Karet Jeneberang menjadi ikon peradaban masa kini, atas pemanfaatan air Sungai Jeneberang bagi kelangsungan hidup warga Kota Makassar serta Kabupaten Gowa.
Sebagai mana fungsinya, keberadaan bendungan ini ditujukan untuk pengelolaan air baku untuk kepentingan warga. Selain itu untuk pengendalian banjir, jika debit air sungai meluap akibat tingginya curah hujan.
Keberadaan bendungan Karet Jeneberang dibangun oleh Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang Kementerian PUPR, tentu menjadi sarana vital bagi warga. Mengingat kebutuhan air baku menjadi kebutuhan pokok sehari-hari, sebagaimana disebutkan dalam UU no 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.
Pada peradaban masa lalu, tentu masih kesulitan bagi pemerintah kerajaan dalam membangun sebuah bendungan. Selain faktor anggaran, teknologi, pengetahuan juga esensi pemanfaatan bagi warga setempat.
Namun seiring dengan kemajuan peradaban, semua faktor di atas bukan kendala lagi untuk dibangun. Keberadaan bendungan menjadi sarana dan infrastruktur vital untuk berbagai sektor. Baik untuk air baku, pertanian, perikanan, energi dan juga pariwisata.
Seperti lokasi bendungan Karet Jeneberang, juga dimanfaatkan warga untuk melakukan aktivitas rekreasi berupa perahu wisata. Ada juga yang melakukan aktivitas lain seperti memancing dan sekedar refreshing di sore hari.
Tentu pemanfaatan air permukaan untuk bendungan karet Jeneberang harus dijaga keberlangsungannya. Karena itu kesadaran warga setempat untuk menjaga keberadaan sungai tersebut diperlukan. Salah satunya turut menjaga kelestarian air sungai dari aktivitas pencemaran dan kerusakan.
Pada akhirnya perjumpaan lintas peradaban di tepian Sungai Jeneberang, menjadi elemen berharga bagi warga dan juga pemerintah daerah setempat untuk dijaga dan dilestarikan.
Di mana terhadap ikon peradaban masa lalu bisa menjadi edukasi bagi generasi sekarang. Bahwa terkadang demi keberlangsungan peradaban manusia, butuh pengorbanan untuk menjaga dan melindungi sumber hidup bersama.
Kelak generasi selanjutnya, akan menikmati apa yang dibuat oleh generasi sekarang. Sama seperti generasi sekarang, bisa menikmati buah warisan perjuangan dari generasi terdahulu.
Maka jika suatu saat berkunjung ke Kota Makassar mampirlah ke tepian Sungai Jeneberang untuk merefleksikan makna kehidupan. Bahwa seperti air sungai yang terus mengalir ke muara, begitu juga hidup manusia terus mengalir bersama denyut waktu.
Demikian pula Ibarat air yang selalu menemukan jalannya. Hidup manusia pun akan senantiasa menemukan jalannya, saat sedang mengalami keterpurukan atau kesulitan. Selalu ada jalan menuju ke muara kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H