Jika tidak ada aral melintang pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam Pemilu 2024 Â Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, akan dilantik pada tanggal tanggal 20 Oktober 2024 nanti.
Pasangan Prabowo-Gibran sudah resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebagai Presiden dan Wakil Presiden tanggal 24 April 2024. Penetapan dilakukan setelah keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI terkait sengketa perolehan hasil suara Pilpres di Institusi tersebut.
Jika nantinya sudah resmi dilantik, maka Prabowo-Gibran akan langsung action melanjutkan visi Indonesia Maju yang sudah dilaksanakan dan dicapai dalam masa pemerintahan Presiden Jokowi selama 10 tahun berjalan.
Hal ini ditegaskan langsung oleh Prabowo dalam berbagai kesempatan. Bahwa akan bekerja lebih cepat, lebih keras dan membawa hasil secepatnya. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Gibran. Bahwa begitu dilantik, akan langsung kerja dan mengeksekusi program yang dikonversi dari visi Indonesia Maju.
Komitmen melanjutkan visi Indonesia Maju, bukan saja menjadi tagline, namun konsepsi politik pasangan tersebut di ruang publik selama tahapan Pemilu. Baik lewat agenda kampanye, debat capres-cawapres, maupun dialog publik yang melibatkan tim pemenangan.
Seperti diketahui visi Indonesia Maju merupakan konsepsi politik pemerintahan Jokowi yang mengacu yang pada lima program prioritas. Yakni pertama, melanjutkan dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Â
Dua, pembangunan sumber daya manusia (SDM). Tiga, masuknya investasi seluas-luasnya untuk membuka lapangan pekerjaaan. Empat, reformasi birokrasi. Lima, pengelolaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Adapun untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dilakukan dengan pendekatan Indonesia Sentris. Yakni pembangunan tidak hanya berpusar di wilayah Jawa saja, namun merata ke seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali.
Transisi Implementasi Indonesia Maju
Dalam masa kepemimpinan Presiden Jokowi, percepatan pembangunan Indonesia Sentris terlihat nyata di berbagai daerah. Tujuannya agar memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, serta pemerataan pembangunan di pelosok tanah air.
Dalam kesempatan pidatonya Jokowi mengatakan, Indonesia harus menuju pada sebuah negara yang lebih produktif. Juga memiliki daya saing, serta memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi secara global.
Dalam sisa lima bulan masa kepemimpinannya, Jokowi terus bekerja mengimplementasikan program visi Indonesia Maju. Terus turun ke daerah untuk meresmikan proyek pembangunan, memantau kondisi stabilitas pangan, sekaligus menyerap aspirasi masyarakat.
Artinya dalam masa transisi kepemimpinannya, tidak ada waktu bagi Jokowi untuk berleha-leha. Sebaliknya terus bekerja untuk melayani kepentingan masyarakat, sekaligus meretas beragam problematika  yang ada di daerah lewat visi Indonesia maju.
Bagi pasangan Prabowo-Gibran masa transisi saat ini adalah momentum untuk mematangkan program, agenda dan perangkat untuk kelanjutan visi Indonesia Maju pada lima tahun ke depan. Kelak ketika dilantik nanti, langsung action dan tidak menoleh ke belakang, karena ada aspek yang tertinggal.
Kesiapan tersebut dimulai dengan membangun komunikasi politik lintas elit dan stakeholder, untuk menyamakan paradigma. Terkait program, agenda dan perangkat yang dibutuhkan dalam implementasi visi Indonesia Maju yang menjadi konsepsi politik Prabowo-Gibran.
Dalam membangun komunikasi politik tentu tidak bisa dielakkan adanya pro kontra. Ini wajar saja, mengingat mengelola urusan rakyat dan negara tidak bisa dilepaskan dari aspek penolakan maupun dukungan dari berbagai pihak.
Namun sebagai pasangan pemenang Pemilu yang mendapat legitimasi dari mayoritas rakyat Indonesia, Prabowo-Gibran harus tetap meyakini apa yang menjadi konsepsi politiknya, sehingga tetap on the track pada keberlanjutan visi Indonesia Maju di masa kepemimpinan keduanya.
Realitas Problem Krusial di Daerah
Dalam artikel saya berjudul Menatap Kemajuan Daerah Pasca Pemilu menyebutkan, potret keberadaan daerah di Indonesia berpusar pada dua hal, yakni kesenjangan (disparitas) dan kemiskinan.
Namun tidak bisa dinafikan bahwa ada realitas lain yang dampaknya rentan dirasakan oleh masyarakat jika lalai untuk ditangani. Yakni krisis pangan, energi, kerusakan lingkungan serta degradasi kebangsaan akibat merosotnya nilai-nilai budaya bangsa.
Dalam masa kepemimpinan Jokowi, sejumlah isu krusial di atas mendapat perhatian serius lewat visi Indonesia Maju. Baik lewat kebijakan, program maupun stimulan anggaran dalan penanganan isu tersebut. Â
Namun harus diakui, negara Indonesia yang begitu luas dan tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk mengatasi beragam problematika di daerah. Tidak mudah memenuhi semua pembangunan infrastruktur yang diinginkan masyarakat dan daerah dalam sekejap.
Tidak mudah membangun political will dan mengesampingkan ego sektoral, untuk berkolaborasi dan bersinergi membangun Indonesia. Padahal dalam sebuah kesempatan Jokowi mengatakan, pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat koordinasi dan sinkronisasi dalam pembangunan di daerah.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi Prabowo-Gibran dalam memperkuat aspek sinergi, koordinasi dan sinkronisasi dalam kepemimpinan keduanya, saat melanjutkan visi Indonesia Maju nantinya.
Khususnya mengatasi realitas disparitas yang belum terpenuhi di wilayah yang tertinggal, terdepan dan terluar (3T). Termasuk memenuhi kebutuhan energi (listrik) yang belum memadai bagi masyarakat yang ada di wilayah tersebut.
Juga mengatasi realitas kemiskinan di daerah terutama di daerah yang masuk sepuluh besar tertinggi angka kemiskinannya oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu mengatasi isu pangan yang rentan menimbulkan kegaduhan, saat terjadi kenaikan harga beras dan komoditi lainnya.
Dan tak kalah penting mengatasi realitas kerusakan lingkungan sebagai dampak masuknya investasi sumberdaya alam dan industri hilirisasi yang mengabaikan aspek ekologi. Serta mengatasi krisis polarisasi di masyarakat akibat post truth sebagai dampak degradasi budaya bangsa.
Relevansi Penambahan Kementerian
Gambaran sejumlah isu krusial yang menjadi realitas problematika di Indonesia saat ini, tentu menjadi relevan dengan wacana penambahan jumlah Kementerian dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Sejumlah Kementerian yang diwacanakan untuk ditambah diantaranya Kementerian Pangan Nasional, Kementerian Perpajakan dan Penerimaan Negara, Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar, serta Kementerian Kebudayaan.
Bahkan ada wacana agar kebijakan energi terbarukan dikelola oleh Kementerian sendiri tidak lagi melekat pada Kementerian ESDM. Mengingat energi terbarukan menjadi agenda strategis dalam transisi dari energi fosil ke terbarukan, sehingga perlu dikelola oleh Kementeriaan khusus. .
Soal realitas disparitas aksesibilitas dan konektivitas di wilayah 3T, relevan dengan Kementerian Pengelolaan Perbatasan dan Pulau Terluar. Demikian pula realitas degradasi kebangsaan akibat segregasi nilai budaya relevan dengan Kementerian Kebudayaan.
Demikian pula soal pangan, sejatinya sudah diurus oleh sejumlah kementerian. Diantaranya Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN dalam hal ini Perum Bulog. Namun swasembada dan stabilitas pangan nasional menjadi problem tentatif yang rentan terjadi, sehingga relevan dengan usulan Kementerian Pangan Nasional.
Pertanyaannya urgenkah penambahan Kementerian dimaksud dalam percepatan pembangunan Indonesia Sentris lewat Visi Indonesia Maju Prabowo-Gibran? Urgenkah penambahan tersebut dikaitkan dengan relevansi kebutuhan masyarakat atas realitas yang dihadapi saat ini?
Urgen atau tidak penambahan Kementerian, sejatinya terpulang kepada Prabowo-Gibran selaku Eksekutif dan DPR selaku Legislatif dalam merevisi UU no 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Serta  terpulang kepada stakeholder dalam menilai, apakah penambahan Kementerian menjadi solusi atas realitas kekinian.
Tentu polemik, diskursus maupun pro kontra atas wacana tersebut tidak akan menyelesaikan realitas problematika yang ada di masyarakat dan daerah. Juga kegaduhan tidak menjadi solusi atas kebutuhan rakyat yang menghendaki peningkatan kesejahteraan hidup.
Di saat para elit dan kaum cerdas berpolemik di ruang publik, masyarakat di wilayah 3T tidak mau tahu soal bertambah atau tidaknya Kementerian. Bagi masyarakat, polemik penambahan jumlah Kementerian bukanlah hal yang esensial.Â
Yang mereka perlukan saat ini adalah, infrastruktur yang bagus agar bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Akses transportasi yang memadai agar distribusi logistik ke wilayah mereka bisa berlangsung secara kontinyu. Juga energi listrik yang memadai bisa mereka nikmati, sebagaimana masyarakat yang ada di perkotaan.
Yang mereka inginkan adalah, selaku warga Indonesia diurus dengan baik oleh negara lewat Kementerian terkait. Karena Kementerian sejatinya adalah, perangkat pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Tentu Prabowo-Gibran tidak harus terjebak dalam polemik yang menghabiskan energi. Sembari membangun komunikasi politik di tingkat elit demi melanjutkan visi Indonesia Maju, harus lebih mendengar suara rakyat di penjuru tanah air. Terkait apa yang perlu dibenahi dan dipenuhi agar Indonesia lebih maju lima tahun ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H