Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Nominator Kompasiana Award 2024

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dimensi Kemandirian Pangan dalam Debat Cawapres

23 Januari 2024   20:21 Diperbarui: 24 Januari 2024   12:30 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Shutterstock via Kompas.com

Persoalan pangan menjadi materi menarik dalam debat keempat Calon Wakil Presiden (Cawapres). Mulai dari pupuk hingga irigasi, serta dari mesin peralatan hingga impor pangan, turut dibahas dalam debat tersebut.

Hampir seluruh instrumen yang terkait isu pangan tak luput dari pembahasan. Para cawapres sepertinya sudah mempersiapkan diri dengan baik, agar jangan sampai tergerus dalam membahas tema tersebut.

Pembahasan soal pangan tentu urgen karena berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia. Serta berkaitan dengan stabilitas sebuah negara yang kokoh kemandirian pangannya, sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Di mana menyebutkan, kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Seluruh cawapres sudah menyampaikan gagasan dan program tentang kemandirian pangan dalam debat kemarin. Juga sudah menawarkan gagasan dan program yang akan dilakukan tentang isu pangan kepada publik jika terpilih nantinya.

Tentu terpulang kepada rakyat Indonesia, untuk bisa menilai mana cawapres yang paling bernas dalam membahas soal pangan. Serta mana gagasan dan program yang relevan dengan kemandirian pangan untuk lima tahun kedepan.

Infrastruktur yang memadai turut mendukung terwujudnya kemandirian pangan di daerah. (Dokumentasi pribadi)
Infrastruktur yang memadai turut mendukung terwujudnya kemandirian pangan di daerah. (Dokumentasi pribadi)

Keterlibatan Peran Pemerintah Daerah

Tentu tidak banyak waktu bagi cawapres dalam sesi debat mengeksplorasi gagasan dan program tentang pangan. Waktu yang terbatas membuat cawapres hanya menyampaikan garis besarnya saja, agar bisa ditangkap oleh publik.

Namun setidaknya hal-hal urgen yang terkait produktivitas serta kemandirian pangan sudah disampaikan secara gamblang oleh para cawapres. Intinya seluruh instrumen soal pangan sudah disampaikan secara terbuka di ruang publik.

Namun ada satu hal yang luput dibahas oleh ketiga cawapres terkait dimensi kemandirian pangan. Di mana hal tersebut cukup penting dalam upaya menggenjot produktivitas dan kemandirian pangan di daerah.

Yakni peran serta pemerintah daerah dalam upaya menyiapkan ketersediaan pangan sebagaimana disebutkan dalam pasal 12 UU tentang Pangan. Di mana menyebutkan bahwa, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab atas ketersediaan pangan di daerah dan produksi pangan lokal di daerah.

Bukan itu saja, dalam pasal 19 menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan produksi pangan.

Serta pasal 44 menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melakukan tindakan dalam mengatasi krisis pangan. Salah satunya mobilisasi cadangan pangan masyarakat di dalam dan antar daerah.

Keberadaan pengairan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pangan. (Dokumentasi pribadi)
Keberadaan pengairan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas pangan. (Dokumentasi pribadi)

Dari uraian di atas sudah jelas, bahwa peran pemerintah daerah tidak bisa dinafikan dalam mewujudkan kemandirian pangan. Presiden dan Wapres selaku pemerintah pusat, tidak bisa bekerja sendiri dalam mewujudkan kemandirian pangan.

Bahwa pemerintah pusat punya gagasan dan program, pada akhirnya akan dibreakdown ke daerah dengan melibatkan pemerintah daerah setempat. Apa jadinya upaya mewujudkan kemandirian pangan tanpa melibatkan pemerintah daerah? Tentu tidak akan maksimal.

Jika para cawapres memahami UU Pangan ini dengan baik, tentu akan menyisipkan keterlibatan pemerintah daerah dalam pembahasan debat. Dan menyampaikan gagasan dan program yang ada di pusat, bisa terimplementasi dengan baik hanya jika terbangun sinergi yang baik dengan daerah.

Kita tentu ingin juga mendengar skema sinergitas seperti apa yang akan dilakukan dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan kemandirian pangan. Di mana kelemahan sinergitas selama ini dan solusi apa yang dibutuhkan untuk mengatasi kelemahan tersebut.

  • Tentu dengan melibatkan pemerintah daerah, maka berbagai kendala dan keterbatasan dalam mewujudkan kemandirian pangan bisa diketahui. Karena pasti setiap daerah punya data dan informasi konkret, terkait upaya mewujudkan kemandirian pangan.

Berbagai problem dan kegagalan soal kemandirian pangan yang diungkapkan Cawapres saat debat, mungkin bisa jadi introspeksi bahwa bisa jadi pemerintah pusat selama ini kurang maksimal melibatkan unsur pemerintah daerah.

Bahwa banyaknya permasalahan yang mencuat, bisa jadi karena pemerintah pusat terlalu asyik dengan ego sektoralnya. Serta tidak memaksimalkan elemen sinergitas yang menjadi faktor penentu sebuah program terimplementasi secara baik dan maksimal.

Kebijakan Holistik Kemandirian Pangan

Sekali lagi para cawapres sudah menegaskan berbagai instrumen yang perlu disiapkan dan dibenahi agar kemandirian pangan dalam negeri bisa terwujud. Serta bisa berkelanjutan demi ketersediaan pangan dalam negeri.

Intinya dalam mewujudkan kemandirian pangan bermuara pada satu hal, yakni dilakukan secara holistik sesuai regulasi yang ada. Holistik dimaksud yakni tuntas di hulu dan tuntas di hilir, sehingga tidak ada celah menunculkan permasalahan.

Artinya di hulu semua instrumen yang berkaitan dengan proses produksi pangan, disiapkan sesuai kebutuhan para produsen pangan yakni petani dan nelayan. Sementara di hilir semua yang berkaitan dengan proses penyimpanan, mobilisasi dan pemasaran pangan, juga disiapkan secara baik.

Tidak bisa hanya di hulu saja yang dibenahi sementara di hilir terbengkalai. Sebaliknya di hulu terbengkalai, sementara di hilir yang dibenahi. Itulah sebabnya mengapa perlu kebijakan yang holistik, agar kedua aspek tersebut bisa berjalan bersama.

Sebagai contoh petani mendapat fasilitas pupuk dan peralatan pasca panen guna menggenjot produktivitas. Namun saat panen tiba, petani terkendala mobilisasi karena infrastruktur jalan yang tidak memadai. Dan ini banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, terutama untuk daerah yang terisolir.

Namun tentu saja kebijakan holistik ini bukan hal mudah dan tidak segampang yang direncanakan. Meski berbagai regulasi sudah mengatur secara ideal apa yang harus dilakukan, guna meningkatkan produktivitas dan kemandirian pangan.

Terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan petani selaku produsen pangan misalnya, sudah diatur dalam UU nomor 19 tahun 2013. Sementara untuk perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan serta petambak garam diatur dalam UU nomor 7 tahun 2016.

Juga soal perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diatur dalam UU no 41 tahun 2009. Demikian pula soal fasilitasi cadangan pangan masyarakat sudah diamanatkan UU no 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Jika saja semua regulasi ini dijalankan sebagaimana yang diamanatkan dan dikonversi lewat program, maka tidak akan muncul keluhan petani dan nelayan terkait kendala produktivitas. Apakah itu soal pupuk, benih, pakan, peralatan, irigasi, permodalan, infrastruktur dan berbagai kendala lainnya.

Demikian pula tidak akan terjadi impor pangan guna mencukupi stok pangan dalam negeri, akibat rendahnya produksi. Maupun gagalnya produksi akibat faktor lainnya. Seperti dampak perubahan iklim, bencana alam, pencemaran lingkungan, alih fungsi lahan dan sebagainya.

Lalu salahkah pemerintah jika harus melakukan impor pangan? Tentu tidak salah. Karena soal impor pun sudah diatur dalam pasal 36 UU nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Yakni Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Serta apabila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi.

Tentu upaya meminimalisasi praktik impor pangan demi mengutamakan kemandirian pangan dalam negeri, menjadi skala prioritas. Namun dalam situasi krisis pangan, praktek impor tidak bisa dielakkan. Ingat ketersediaan pangan dalam negeri adalah sebuah keharusan sebagaimana amanat undang-undang.

Kuncinya bagaimana dimensi kemandirian pangan ini bisa diwujudkan lewat skema kebijakan dan program yang holistik. Serta melibatkan seluruh komponen termasuk produsen pangan, sebagai garda terdepan mewujudkan kemandirian pangan.

Lalu adakah capres dan cawapres yang memiliki gagasan dan kebijakan yang holistik dalam mewujudkan kemandirian pangan serta mampu mengimplementasikannya dalam kepemimpinan lima tahun berikutnya?

Kalau rakyat merasa ada usai mengikuti debat kemarin, maka rasanya capres dan cawapres tersebut yang layak untuk memimpin Indonesia kedepan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun