Bahkan di salah satu Mall di Surabaya, saya mendapati pohon Natal berukuran sangat tinggi. Seumur-umur baru pertama kali saya melihat pohon natal tersebut. Saking tinggi saat berpose di pohon natal tersebut saya terlihat sangat kecil.
Keberadaan aksesoris Natal di ruang publik jangan dilihat sebagai bentuk berlebihan, pemerintah, pelaku usaha maupun stakeholder terkait, dalam mengapresiasi momen perayaan Natal bagi umat Kristiani di Bulan Desember.
Bukan juga sebagai bentuk menghadirkan dimensi eksklusif terhadap umat Kristiani yang akan merayakan Natal. Sebaliknya dilihat sebagai ungkapan berbagi rasa sukacIta dan kebersamaan, dalam bingkai kedamaian.
Saya yakin umat Kristiani juga tidak menghendaki perlunya keberadaan gemerlap aksesoris Natal khususnya di daerah dimana umat Kristianinya minoritas. Yang penting adalah bagaimana umat bisa merayakan Natal secara aman dan damai.
Karena bagi umat Kristiani ada atau tidak adanya aksesoris Natal, sejatinya tidak mengurangi spirit sukacita dalam merayakan Natal. Keberadaan aksesoris Natal hanyalah instrumen yang memberi warna sukacita dalam perayaan Natal tersebut.
Yang penting adalah bagaimana merefleksikan makna Natal dan mengaktualisasikan dalam kehidupan bersama. Yakni menjadi insan manusia yang senantiasa membawa kesan baik dan bermanfaat bagi orang lain.
Insan yang senantiasa hidup dalam dimensi tolerensi beragama. Serta mengaktualisasikan sikap hidup  yang harmonis dengan sesama umat beragama lainnya. Itulah hakekat insan Kristiani dalam memaknai perayaan Natal.
Tentu sangat indah melihat keberadaan aksesoris Natal di ruang publik. Namun lebih indah lagi jika dalam hidup berbangsa, semangat toleransi menjadi sikap hidup untuk saling menghormati diantara pemeluk agama yang berbeda keyakinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H