Pertama kali berkunjung ke istana Pura Mangkunegran di Kota Solo yang menjadi museum sekaligus kediaman keluarga Adipati Mangkunegaran X, saya menyerap inspirasi atas slogan the spirit of Java untuk kota tersebut.
Sebenarnya bukan hanya di Pura Mangkunegaran di beberapa destinasi di Solo, kita bisa menemukan ikon yang menyimbolkan slogan the spirit of Java yang mengandung makna, jiwa dari budaya, sejarah, maupun kearifan lokal  Jawa.
Di Pura Mangkunegaran spiirit atas penghormatan, penghargaan, dan keterbukaan melebur menjadi filosofi, terhadap peradaban budaya dan kearifan lokal yang terus eksis di tengah modernitas jaman.
Pura Mangkunegaran sendiri yang dibangun sejak tahun 1757 oleh Adipati Mangkunegaran I, terbuka untuk kunjungan wisatawan setiap harinya. Kebetulan saya berkunjung pada hari Minggu, dimana tiket masuk sebesar Rp 30 ribu per orang.
Di banding sejumlah destinasi yang pernah saya kunjungi di dataran Jawa, destinasi ini terbilang cukup mahal bagi wisatawan domestik. Namun melihat destinasi yang dikunjungi merupakan bangunan bersejarah, rasanya tarif berkunjung tersebut sudah sesuai.
Karena merupakan bagian dari kediaman bangsawan (Adipati Mangkunegaran) di Solo sejak ratusan tahun lalu yang beberapa spot bangunan dan koleksi bendanya dianggap sakral.
Wajib Didampingi Pemandu
Para wisatawan akan ditemani oleh seorang pemandu (guide) yang disiapkan oleh pengelola. Tugas dari pemandu ini akan memberikan berbagai informasi kepada wisatawan terkait seluruh elemen dari Pura Mangkunegaran. Baik berupa koleksi benda, spot bangunan maupun  dokumentasi gambar yang ada di dalamnya.
Saya sendiri bersama satu wisatawan domestik dari Jogyakarta, mendapat pemandu seorang siswi  di salah satu SMK Solo dan saat ini sedang tugas PKL di destinasi tersebut. Oleh pihak pengelola disampaikan biaya untuk pemandu, tergantung kemanisan hati wisatawan.
Tentu ini menarik, karena keberadaan jasa pemandu diwajibkan untuk wisatawan. Di beberapa destinasi daerah lain, keberadaan pemandu tidak diwajibkan. Seperti di destinasi wisata Lawang Sewu Semarang, tergantung wisatawan mau menggubakan jasa pemandu atau tidak.
Bahkan ada destinasi yang tidak disiapkan pemandu sama sekali, seperti di Benteng Vredeberg Jogyakarta. Padahal di destinasi tersebut mempunyai empat bangunan utama yang menyimpan berbagai benda koleksi bersejarah, yang perlu jasa pemandu memberikan penjelasan.
Menjadi inspirasi bahwa sudah selayaknya pada destinasi sejarah perlu keterlibatan tenaga jasa pemandu. Selain membuka lapangan kerja, juga bisa membantu wisatawan mendapat informasi seputar keberadaan destinasi wisata tersebut.
Untuk di Pura Mangkunegaran ada tiga kategori pemandu wisatawan. Yakni organik, volunteer serta yang sedang tugas praktek. Namun soal penguasaan materi dan informasi sama kualitasnya. Termasuk pemandu yang mendampingi saya yang masih tugas praktek, cukup menguasai referensi.
Satu hal lagi para pemandu ini bisa membantu wisatawan untuk mengambil dokumentasi di berbagai spot. Atas skill dan knowledge yang diniliki, tidak rela rasanya memberi tarif kepada pemandu berdasarkan kemanisan hati, namun sesuai pelayanan yang diberikan.
Ini bisa jadi inspirasi bagi daerah yang belum memaksimalkan keterlibatan jasa pemandu di destinasi wisata. Soal skema pembayaran bisa dengan ditentukan nominalnya sebagaimana di Lawang Sewu, atau kemanisan hati seperti di Pura Mangkunegaran.
Memaknai Kesakralan Spot Bangunan
Secara umum wisatawan yang berkunjung ke istana Pura Mangkunegaran akan diarahkan ke tiga spot bangunan utama. Yakni Pendopo Ageng, Bale Warni dan Pracimayasa dengan dibantu oleh pemandu, guna memberi penjelasan tentang sejarah dan fungsi tiap bangunan.
Di bangunan Pendopo Ageng, wisatawan menjumpai ruang berukuran luas dengan ornamen-ornamen yang eksotis dari masa lalu. Seperti lantai marmer yang diimpor dari Eropa, Langit-langit bangunan yang bermotif indah dan menark. Serta lampu gantung yang ikonik.
Ada juga patung singa berbahan perunggu berjumlah delapan, terdiri empat di depan dan empat di belakang bangunan Pendopo Ageng. Kemudian ada juga seperangkat alat gamelan yang usianya sudah ratusan tahun. Penyusunan gamelan ini dibagi tiga kategori, sesuai tingkat kesakralannya.
Di bangunan Pendopo Ageng, wisatawan diminta melepas alas kaki baik sepatu atau sandal dan dimasukkan ke kantongan yang sudah disediakan pengelola. Alasannya, karena bangunan Pendopo Ageng dianggap sakral, sehingga untuk berada di bangunan tersebut harus tanpa alas kaki.
Disinilah spirit penghormatan dan penghargaan terhadap nilai budaya dan kearifan lokal di kedepankan. Wisatawan diajak untuk menghormati kesakralan bangunan tersebut. Hingga menuju ruang Paringitan yang menjadi pembatas dengan ruang Dalem Ageng, alas kaki masih tetap dilarang.
Ruang Dalam Ageng sendiri merupakan tempat sakral di Pura Mangkunegaran yang tidak boleh didokumentasikan. Di ruang ini, tradisi acara khusus keluarga Mangkunegaran digelar serta menyimpan sejumlah benda koleksi bersejarah. Termasuk dua harimau asli yang diawetkan dan berusia ratusan tahun.
Selanjutnya, wisatawan diarahkan menuju bangunan Bale Warni yang merupakan tempat tinggal putri keluarga keturunan Mankunegaran pada masa lalu. Di bangunan ini wisatawan diperbolehkan menggunakan alas kaki sepatu atau sandal.
Bangunan ini terlihat seperti asrama, namun tertata tapi dan terdapat sejumlah dokumentasi aktivitas dan keluarga putri Mangkunegaran. Ada juga bajan kuliner yang dikonsumsi oleh para putri untuk menjaga kecantikan dan kesehatan tubuh.
Terakhir, adalah spot bangunan Pracimayasa yang merupakan ruang berkumpul keluarga Mangkunegaran. Bangunan ini terlihat elegan walau sudah ada dari masa lalu. Terdiri dari ruang pertemuan dan ruang makan. Di ruang pertemuan ada perangkat meja dan kursi yang berbalut emas.
Di ruang makan ada koleksi benda pemberian dari Raja Bali. Serta ada kursi sofa yang biasa diduduki okeh Presiden pertama RI Sukarno saat menghadiri undangan makan di ruang tersebut  oleh keluarga Mangkunegaran di masa revolusi dulu.
Secara umum spot bangunan di istana Pura Mangkunegaran yang memadukan unsur tradisional Jawa dan arsitektur Barat tertata asri dan bersih. Ini bukti pengelolaan destinasi sejarah seluas 10 hektar dilakukan dengan baik dan profesional. Itulah sebabnya banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara  yang berkunjung ke destinasi tersebut.
Dilarang Menyentuh Koleksi Benda
Satu hal yang didapatkan selama mengunjungi lingkungan istana Pura Mangkunegaran adalah, semua benda koleksi masa lalu yang bersejarah dan dianggap sakral, tidak boleh disentuh.
Terlebih tidak boleh duduki. Seperti perangkat kursi yang pernah digunakan secara turun temurun oleh keluarga Mangkunegaran. Sebagaimana kursi yang ada di bangunan Bale Warni maupun Pracimayasa.
Wisatawan diperbolehkan mendokunentasikan koleksi benda maupun dokumentasi foto keluarga Mangkunegaran dari jarak dekat, namun tetap tidak boleh disentuh.
Saya tadinya minta izin kepada penandu apakah boleh mengambil dokumentasi di kursi sofa yang duduki Presiden pertama Sukarno di ruang makan bangunan Pramucasaya. Disampaikan oleh pemandu mengambil gambar boleh, namun untuk duduk tetap tidak diperbolehkan.
Termasuk juga peralatan gamelan dan patung singa berbahan perunggu yang ada di bangunan Pendopo Ageng. Dimana hanya diperbolehkan berfoto dari jarak dekat. Untuk patung singa sendiri menurut pemandu, merupakan pemberian dari negara Jerman kepada pihak Mangkunegaran dan diletakkan di Pendopo Ageng. .
Tentu saya memaknai pelarangan dimaksud bukan untuk mengkultuskan kesakralan koleksi benda-benda tersebut. Namun lebih pada menjaga agar benda tersebut tetap lestari dan terawat keberadaannya. Mengingat usia benda serta kandungan nilai sejarah dari peradaban masa lalu.
Sesuatu yang memiliki nilai sejarah memang harus dijaga dan dilestarikan. Di satu sisi harus terbuka bagi publik (umum) untuk dieksplor, sebagai edukasi tentang pelita kehidupan yang bersumber dari sejarah dimaksud.
Dengan menghormati setiap elenen-elemen seejarah, itu berarti kita turut menghargai bagaimana peradaban masa laku bekerja dan bertransfornasi ke peradaban masa kini. Itulah spirit yang ingin dikembalikan ditengah distrupsi digitalisasi saat ini.
Keterbukaan Pura Mangkunegaran sebagai museum yang mengandung nilai sejarah di jantung kota  Solo, telah melapangkan jalan edukasi dan spirit bagi anak bangsa untuk tidak melupakan akar budaya dan kearifan lokal bangsa ini.
Di tengah arus modernitas, selayaknya jangan pernah meninggalkan identias kearifan lokal yang sudah mengajarkan untuk menempatkan penghormatan dan penghargaan di tempat tertinggi alam kesadaran kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H