"Perpustakaan adalah benteng terakhir kemanusiaan. "
Adagiun berisi lima kata tersebut, tertera dengan jelas di dinding bangunan depan yang menjadi etalase pameran Gedung Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Republik Indonesia yang berlokasi di jantung kota Jakarta.
Tentu saja saya mengamini adagium tersebut, mengingat adanya tiga paradoks dalam kehidupan manusia di era digitalisasi saat ini. Dimana di satu sisi membawa dampak transformasi, namun di sisi lain berdampak distrupsi diberbagai aspek kehidupan.
Tiga paradoks tersebut sebagaimana disebut dalam buku Citizen 4.0 yakni pertama online versus offline, kedua style (gaya) versus substansi dan ketiga mesin versus human (manusia).
Terhadap dampak transformasi, akses dan eksistensi manusia dilakukan dengan mudah dan cepat secara online. Dunia serasa tanpa sekat, oleh karena adanya perangkat digital.
Penampilan produk atau citra diri seseorang juga dapat dibuat dan secara cepat dan instan, menggunakan perangkat digital. Serta penggunaan mesin teknologi berbasis digital, menjadi sebuah kebutuhan signifikan.
Terhadap dampak distrupsi, tidak ssediit gerai usaha yang tutup karena tergerus pemasaran berbasis online. Banyak orang viral dan mendapat cuan dadakan, karena menampilkan citra diri ewat konten instan, tanpa didukung knowledge yang memadai.
Banyak pengurangan tenaga kerja sebagai konsekuensi kehadiran mesin teknologi berbasis digital. Bahkan diprediksi kedepan penggunaan tenaga robot mendominasi sejumlah sektor kerja menggantikan tenaga manusia.