"Indonesia tanah air yang mulia, tanah air kita yang kaya. Di sanalah kita berada untuk selama -lamanya."
Adagium Sukarno di atas terdapat dalam risalah Mencapai Indonesia Merdeka tahun 1933. Tahun dimana, Sukarno muda bersama para founding father berjuang melawan praktek imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh penjajah demi mencapai Indonesia Merdeka.
Dalam konsepsi Sukarno, Indonesia selama-lamanya sebagai suatu geopolitik, harus didahului dengan kemerdekaan sebagai syarat maha penting untuk mendirikan yang namanya gedung Indonesia sempurna. Adapun gedung Indonesia sempurna itu, hanyalah bisa didirikan di atas buminya Indonesia yang merdeka.
Â
Selain itu harus memiliki dasar-dasar Indonesia merdeka. Dimana dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 Sukarno menyebut dasar-dasar tersebut dengan istilah philosophische grondslag atau falsafah negara. Serta istilah welstanchauung atau pandangan hidup. Tentang istilah philosophische grondslag, Sukarno mendefinisikan sebagai fundamen, filasafat, dan pikiran yang sedalam dalamnya.
Dalam pidato di hadapan sidang BPUPKI tersebut, Sukarno menyebut lima prinsip dasar Indonesia merdeka yang disebutnya sebagai Pancasila. Dimana prinsip dasar itulah yang kemudian dikembangkan menjadi lima sila atau Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Alhasil Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara Indonesia, tak lain adalah Pancasila sebagai dasar filsafat atau falsafah negara. Â
Mantan Kepala BPIP RI Yudi Latif dalam tulisannya berjudul Relevansi Pancasila Dalam Hidup Kekinian yang termuat dalam buku Nilai Keindonesiaan mengatakan, Welstanchauung yang disebut Sukarno pada 1 Juli 1945 sebangun dengan filsafat yang menyatu dengan ideologi. Dimana Pancasila sebagai ideologi sesungguhnya telah memilki landasan keyakinan normatif yang jelas serta visioner.
Tentang Pancasila sebagai ideologi atau dasar negara yang sudah dibahas dan dirumuskan oleh para founding father bangsa, tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara. Dimana hingga amandemen (perubahan) keempat UUD 1945, Pancasila masih tetap termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Artinya hingga abad 21 ini, Pancasila sebagai Ideologi Negara masih relevan sebagai dasar dari gedung Indonesia sempurna, sebagaimana yang diadagiumkan Sukarno dalam Mencapai Indonesia Merdeka pada tahun 1933 lalu. Demikian pula UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara masih teruji dalam menjaga masa depan Indonesia agar tetap ada selama-lamanya di muka bumi ini. Â
Seperti kita ketahui, pada pasal 1 ayat 1 amandemen keempat UUD 1945 menyebutkan, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Sementara dalam pasal 37 ayat 5 menyebutkan, khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa dilakukan perubahan.
Jadi meski dalam amandemen keempat UUD 1945 pasal 37 mengamanatkan soal perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang kurangnya 1/3 dari anggota MPR, namun soal pasal NKRI sebagai Bentuk Negara, tidak bisa dilakukan perubahan.
Sampai disini, maka cita-cita Sukarno agar Indonesia tetap ada selama-lamanya, secara konstitusional telah terkunci lewat pasal 37 ayat 5 UUD 1945 amandemen keempat. Tentu saja sebagai anak bangsa terlebih Mahkamah Konstitusi (MK) selaku penjaga konstitusi dan ideologi Bangsa, untuk terus mengawal jangan sampai amanat konstitusi ini diubah. Â
Empat Pilar Sebagai Peradaban Konstitusi
Karateristik Indonesia dapat dilihat dari kebesarannya, keluasannya serta kemajemukannya yang membedakan dengan Negara lain yang ada di dunia. Itulah mengapa Sukarno menyebut Indonesia sebagai tanah air yang mulia, tanah air yang kaya.
Kaya disini bukan saja dari aspek sumber daya alamnya semata. Namun juga dari aspek kebhinekaannya, serta dari aspek keberadaan pulau-pulaunya yang tersebar dari pulau Sumatera hingga Papua.
Karateristik serta kekayaan yang dimiliki ini, menjadi potensi bagi masa depan Bangsa Indonesia menjadi negara maju dan kuat. Namun di satu sisi, bisa menjadi potensi perpecahan jika amanat dalam konstitusi negara yakni UUD 1945 tidak dijalankan secara baik oleh penyelenggara negara sebagai mandataris rakyat.
Yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut serta memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian abadi. Â
Potensi perpecahan bangsa bisa diakibatkan oleh aspek sumber daya alam, jika tidak diurus secara adil dan berpihak bagi kesejahteraan rakyat. Dalam realitasnya, pengelolaan sumber daya alam, rakyat justru terpinggirkan, sementara pihak pelaku usaha yang diuntungkan dalam langgam investasi.
Investor yang terungkit dari aspek ekonomi dan pendapatan, sementara rakyat di lingkar sumber daya alam, justru tidak ikut terungkit dari aspek pendapatan dari kesejahteraan. Realitas ini bisa terjadi karena dari dimensi kebijakan dan regulasi tidak berpihak ke rakyat, sebaliknya berpihak kepada pelaku atau badan usaha.
Potensi perpecahan juga bisa datang dari aspek kebhinekaan yang luar biasa dimiliki bangsa ini. Meliputi suku, agama, budaya, dan adat istiadat. Sudah seringkali gesekan akibat kesalahpahaman yang bermuara pada terjadinya konflik sosial, namun tidak sampai membuat NKRI terpecah belah. Â
Demikian pula dari aspek kepulauan Indonesia yang tersebar secara geopolitik. DImana potensi perpecahan rawan terjadi dalam setiap momentum kontestasi politik. Padahal momentum kontestasi tersebut bertujuan untuk mendapatkan Pemimpin yang bisa memajukan daerahnya dan mensejahterakan rakyatnya.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. kontestasi politik bermuara pada konflik sosial serta polarisasi pendukung, karena tudingan praktek kecurangan serta diskriminasi dalam proses pemilihan. Pada akhirnya menimbulkan saling gugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), untuk mendapatkan putusan final dan mengikat. Â Â
Lalu mengapa hingga saat ini Indonesia masih tetap utuh, padahal potensi kerawanan dan perpecahan begitu besar ada di depan mata. Jawabnya, itu karena Indonesia memiliki peradaban konstitusi yang bernama Empat Pilar Kebangsaan. Yakni Pancasila sebagai Ideologi Negara, UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai Bentuk Negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara.
Kesadaran atas Peradaban Empat Pilar inilah yang terus mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa, agar pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dijalankan dengan tetap mengacu kepada tujuan negara yang dicita-citakan. Serta bersatu padu dalam mengisi pembangunan agar bangsa ini dapat lebih maju dan sejahtera. Â
Kesadaran Empat Pilar Kebangsaan ini juga yang senantiasa mengingatkan, jika dalam kehidupan berbangsa ada persoalan yang disebabkan akibat abai dan lalai dalam implementasi konstitusi. Seperti liberalisme ekonomi terjadi karena penyelengara negara lalai mengabaikan sila-sila dari Pancasila dan pasal-pasal dalam UUD 1945. Â
Demikian pula gesekan karena adanya sikap eksklusif terhadap aspek kebhinekaan, dapat mendegradasi semangat Bhinneka Tunggal Ika yang ada di Negara kita. Serta konflik sosial akibat kontestasi politik bisa mengancam keutuhan NKRI yang sudah terjaga baik selama ini.
 Â
Peradaban Empat Pilar menjadi panduan yang efektif dan nyata dalam penegakan konstitusi di Negara ini. Termasuk juga dalam mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan serta mengakomodir potensi karateristik Indonesia. Untuk tidak sekedar menjadi kekayaan bangsa semata, namun untuk mensejahterakan dan menyatukan Bangsa Indonesia.
Pada akhirnya Empat Pilar Kebangsaan inilah yang menjadi penegasan terhadap adagium, "Tada bangsa yang besar, tanpa peradaban konstitusi yang kokoh." Itulah Indonesia, bangsa besar yang kokoh konstitusinya.Â
MKRI Merawat Masa Depan Bangsa
Dua dekade keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai Lembaga Peradilan Konstitusi, masih on the track menjalankan tugas dan kewenangan sebagai penjaga konstitusi dan Ideologi Negara. Tugas yang sangat esensial agar peradaban konstitusi kita tetap terjaga dan terawat baik demi masa depan Negara Indonesia.
Kewenangan MKRI sendiri diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24C. Dimana pada ayat 1 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Kemudian memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Selanjutnya pada ayat 2 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, MKRI memiliki kewenangan tambahan yakni memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selama belum terbentuk peradilan khusus.
Kewenangan yang diberikan lewat UUD 1945, dan UU, maka rakyat menaruh harapan besar, agar kinerja MKRI dalam peradilan konstitusi sejatinya menegakan konstitusi negara. Baik dari tahap sidang panel, rapat permusyawaratan, dan sidang pleno, benar-benar mengedepankan hak konstitusional rakyat berdasarkan konstitusi yang ada.
Dimana bagi setiap regulasi,kebijakan maupun keputusan yang potensial menggerus kewenangan hak rakyat dan bertentangan dengan peradaban konstitusi Negara, maka menjadi kewenangan MKRI untuk dicegah agar tidak mendegradasi masa depan bangsa. Â
Terhadap keberadaan banyaknya Undang-Undang di negara ini yang mengatur hajat hidup rakyat Indonesia, maka MKRI diharapkan berada di garda terdepan untuk menguji secara serius, apakah sudah selaras dengan yang diamanatkan dengan UUD 1945.
Jika tidak selaras atau bertentangan, maka harus dibatalkan agar tidak menjadi beban bagi rakyat dan bangsa. Karena realitasnya Undang-Undang yang sudah dibuat populis terhadap rakyat saja, dalam kenyataanya masih tetap deskriminatif ke rakyat. Bagaimana dengan yang benar-benar tidak berpihak serta bertentangan dengan konstitusi.
Dalam usia ke 20 tahun MK, tantangan akan semakin berat dalam menjalankan tugas dan peran sebagai penjaga dan penegakan Kontitusi Negara. Tentu tidak mudah bagi Hakim MKRI dalam setiap pengambilan keputusan yang bersifat final dan konstitusional.
Butuh kontemplasi yang mendalam disertai keyakinan teguh, bahwa amar putusan yang diambil benar-benar dilandaskan pada amanat konstitusi. Benar-benar ditujukan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan tertentu.
Diharapkan, bukan saja landasan ketajaman konstitusional yang akan terus mewarnai peran dan tugas MKRI di negara tercinta ini. Namun landasan historis dan konsepsi bagaimana para founding father mendirikan bangsa ini, juga terpatri dalam alam kesadaran MKRI.
Sehingga amanat selaku penjaga konstitusi dijalankan dengan sehormat-hormatnya demi rakyat dan demi menjaga masa depan Indonesia untuk selamanya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H