Logikanya jika hanya membangun pabrik kendaraan listrik, maukah Amerika membeli bahan baku nikel yang diproduksi dari smelter Cina? Apakah tidak gengsi Amerika memasok bahan baku, dimana Cina bisa mengatur harga jual?
Bukankah lebih efisien dan efektif jika bahan baku dipasok dari smelter sendiri untuk dijadikan baterai dan kendaraan listrik, sehingga tidak perlu ada gengsi-gengsian dengan Cina.
Namun ini hanya sebuah dugaan semata. Karena yang lebih tahu soal mengapa Elon Musk belum action di Indonesia adalah Pemerintah. Infonya Pemerintah masih terus bernegosiasi dengan pihak Elon Musk, untuk tindak lanjut  berinvestasi di Indonesia.
Namun ada alasan yang lebih hakiki, sebagaimana yang dilansir media massa. Bahwa alasan mengapa Elon Musk belum berminat membangun pabrik kendaraan listrik di Indonesia, karena sektor hulu yang masih bergantung pada batu bara.
Pertanyannya, salahkah jika Amerika atau Eropa bahkan Rusia, membangun smelter nikel di Indonesia. Tentu tidak salah. Karena terbukti untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik saja, Indonesia terbuka bagi investor asing untuk masuk.
Pertanyaan selanjutnya, teruji kah negara lain membangun dan mengelola smelter nikel seperti Cina. Siapkah menggerakkan smelter menggunakan energi terbarukan, bukan energi fosil (Batubara) Â yang berdampak pencemaran lingkungan dan pemanasan global. Â
Jika negara lain lebih siap dan teruji, mengapa tidak karpet merah ditarik dari Cina, dan dihamparkan ke negara yang komitmen mengedepankan keseimbangan ekonomi dan ekologi dalam hilirisasi industri nikel ke Indonesia.
Bukankah hal tersebut yang seringkali ditekankan Presiden Jokowi, bahwa antara hilirisasi industri dan energi terbarukan menjadi prioritas.
Jadi apakah Elon Musk, tetap berminat membangun pabrik Tesla di Indonesia? Biar waktu yang akan menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H