Hari masih pagi ketika pintu rumah diketuk ketuk. Saat pintu dibuka, ternyata seseorang sedang mengantar makanan yang terdiri dari berbagai hidangan, seperti burasa, sup kambing serta gulai sapi. Dalam hati saya bergumam, ini pasti makanan Hari Raya Idul Adha.
Saya menerima makanan tersebut dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. Saya tanya dari rumah yang mana, karena yang bersangkutan baru saya lihat. Ia lalu menunjuk sebuah bangunan dua lantai yang tentu saja tidak asing bagi saya. Dirinya mengaku hanya ditugaskan untuk mengantar makanan ke tetangga.
Namun rasa surprise sempat mencuat, karena selama ini saya tidak pernah melihat salah seorangpun penghuni rumah dua lantai tersebut. Bukan apa apa bangunan rumah tersebut membelakangi tempat tinggal saya.
Dan dari tampak belakang tersebut sehari hari saya hanya melihat sebuah jendela dengan kain gorden berwarna hijau. Saya hapal betul jendela rumah tersebut sudah terbuka mulai pagi hari, dan tertutup kembali pada sore hari. Itulah sebabnya saya menjuluki rumah tersebut berjendela satu, karena memang hanya satu jendelanya.
Adapun rumah tersebut berada di depan jalan raya dan memiliki pagar yang tinggi dan tertutup rapat setiap hari. Makanya wajar jika saya tidak pernah mengenal apalagi berinteraksi dengan penghuni rumah tersebut. Jangankan untuk say hello, melihat pun tidak pernah.
Karena tempat tinggal saya berada di dalam lorong jalan dan berada di belakang rumah dua lantai tersebut, jadi sehari hari selama bertahun tahun hanya lewat melintasi rumah tersebut, tanpa pernah kenal sang penghuni rumah.
                ***
Saya menikmati burasa dipadu dengan sup kambing serta gulai sapi yang diberikan penghuni rumah dua lantai berjendela satu tersebut. Jujur bagi saya, inilah kuliner yang sangat nikmat rasanya. Sup kambingnya enak dipadu dengan burasa serta gulai sapi yang dimasak enak. Yummy.
Sebenarnya sudah menjadi tradisi jika setiap Hari Raya Idul Adha, sejumlah tetangga ditempat tinggal saya telah menyiapkan hidangan tersebut, saat menerima kunjungan silaturahmi dari sesama tetangga lainnya.
Namun karena sedang Pandemi Corona, maka saya menahan diri untuk bersilaturahmi. Saya juga melihat kalau tetangga lagi tidak sedang menerima tamu, namun demikian masih menyempatkan mengantar makanan yang lezat. Â
Sembari menikmati kiriman makanan, saya melihat jendela rumah berlantai dua tersebut terbuka. Namun seperti biasa tidak pernah saya melihat seorang pun memperlihatkan diri di jendela tersebut.
Kadang karena penasarannya, pernah sampai berjam jam saya menunggu didepan teras rumah, hanya untuk menanti ada orang yang terlihat dari jendela tersebut. Namun hasilnya nihil. Dari jendela terbuka sampai tertutup, tak terlihat penghuninya apakah berjenis kelamin pria atau wanita.
Padahal saya sekedar ingin tahu kalau penghuninya wanita, apakah dia telah berumur atau masih remaja. Apakah orangnya cantik atau biasa saja. Demikian pula sebaliknya, kalau orangnya berjenis kelamin pria, apakah dia sudah berumur atau sebaliknya. Jujur saya penasaran.
Dari cerita yang saya sempat dengar, penghuni rumah dua lantai tersebut adalah orang yang tertutup. Bahkan adalagi yang mengatakan kalau penghuninya sombong dan tidak mau bergaul dengan tetangga lain. Terbukti sudah selama bertahun tahun tidak pernah menyapa tetangga sekitar.
Stigma yang saya dengar tersebut, semakin menambah penasaran dengan penghuni rumah. Apalagi jendela rumah yang selalu terbuka tanpa ada penghuni yang terlihat membuat saya bertanya tanya apa gerangan yang ada di dalam rumah tersebut.
                 ***
Kiriman makanan tetangga kini sudah ludes saya nikmati. Diatas meja hanya tersisa piring kosong. Karena lezatnya, makanan tersebut berkali kali saya nikmati. Padahal bisa saja saya simpan untuk dimakan lagi kalau pada waktunya lapar.
Pandanganku kembali terarah ke jendela rumah berlantai dua. Lagi lagi tak ada orang nongol dari jendela tersebut. Dalam hati saya menyalahkan diri sendiri. Bahwa selama ini sempat terpengaruh stigma beredar tentang penghuni rumah yang sombong.
Saya baru sadar meski tidak pernah terlihat sama sekali, ternyata penghuni rumah berlantai dua berjendela satu adalah orang baik. Terbukti dengan kiriman makanan dalam momentum Hari Raya Idul Adha yang lezat. Yang sudah ludes saya nikmati.
Ternyata apa yang dipasangkan belum tentu benar. Bahkan sebaliknya kenyataan justru berbeda dengan stigma selama ini. Mungkin saja rumah yang sering tertutup karena penghuninya punya kesibukan, sehingga tak sempat berinteraksi dengan tetangga lain.
Selama ini saya mengukur keberadaan penghuni rumah tersebut dengan sikap egaliter yang saya tunjukkan kepada orang lain. Sikap mudah berinteraksi dan menyapa saat berjumpa atau sekedar bersua.
Namun apakah saya sudah sebaik yang saya kira selama ini. Apa yang sudah saya buat dan berikan kepada tetangga atau orang lain, saat mereka membutuhkan bantuan dan berkekurangan.
Apa yang sudah saya kontribusikan pada sesama dimasa pandemi corona saat ini, dikala banyak orang yang berkesusahan. Bukankah sering ada permohonan yang saya abaikan, padahal bisa saja saya memberikan bantuan.
Kalau ternyata dalam hidup ini saya belum banyak berbuat baik pada orang lain, lalu mengapa pula saya harus memberi penilaian yang tidak baik pada sesama. Terlebih memberi stigma negatif pada penghuni rumah dua lantai yang ternyata sudah berbuat baik pada orang lain.
Dalam hati saya bertekad untuk intropeksi diri. Bahwa ternyata kebaikan bisa datang dari segala arah dan bisa datang dari orang yang tidak kita sangka sebelumnya. Dari penghuni rumah dua  lantai, saya mendapat pembelajaran penting tentang makna kemanusiaan yang hakiki.
Saya melihat kembali kearah jendela rumah, dan tetap tak ada orang yang terlihat. Toh kepada siapapun di dalam rumah tersebut, saya hendak mengucapkan terima kasih sekali lagi untuk makanannya.Â
Serta teriring ucapan Selamat Hari Raya Idul Adha. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H