Sampai disini perlu ada efek jera bagi pelaku hoaks tersebut lewat proses hukum  yang memberatkan. Jika hanya lewat pemberian maaf semata dan tidak mendapat sangsi hukum tegas, maka jangan berharap penyebaran hoaks  bisa diredam dari oknum oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kasus babi ngepet di Depok sudah memberi pembelajaran berarti. Bahwa seorang yang berpredikat tokoh agama saja bisa tanpa beban merancang dan menjadi produsen hoaks untuk menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bagaimana dengan masyarakat awam yang sengaja dimanfaatkan menyebar hoaks untuk kepentingan tertentu.
Bukan apa apa penyebaran hoaks sangat rentan mempolarisasi sesama anak bangsa jika dari sekarang tidak diambil tindakan kongkrit. Momentum seperti kontestasi politik adalah momentum paling rentan penyebaran hoaks dilakukan untuk mempolarisasi masyarakat.
Pengalaman sudah membuktikan bagaimana realitas polarisasi anak bangsa berlangsung secara biner lewat media sosial  dengan konten hoaks dan narasi narasi antagonistik. Polarisasi yang dapat menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa jika tidak diantisipasi sedini mungkin.
Disatu sisi upaya untuk menimalisir fenomena post truth di masyarakat menjadi tugas kita bersama dengan memberikan edukasi dan pencerahan  di ruang ruang publik. Ini sebuah upaya agar masyarakat senantiasa mengedepankan nalar dalam menyikapi sebuah informasi.
Peran stakeholder terutama elit politik untuk melakukan tugas pencerahan sangat dibutuhkan. Tidak sekedar menjadi elit politik yang hampa alias tanpa framing gagasan dan narasi di ruang publik.
Karena sengaja membiarkan fenomena post truth di masyarakat terus terjadi, maka sama dengan membiarkan realitas polarisasi terus terbentang di bangsa ini. Sebuah potensi yang bisa membawa dampak fatal terhadap degradasi bangsa ini kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H