Pengakuan tersangka penyebar hoaks atau berita bohong terkait babi ngepet di Depok Jawa Barat membuat kita miris. Alasannya karena tersangka ingin menjadi terkenal dan agar pengikutnya bertambah.
Hal lain yang membuat lebih miris, ditengah isyu hoaks, seorang wanita di Bogor menyempatkan memfitnah tetangganya bahwa telah menggunakan babi ngepet untuk punya uang banyak. Sementara tetangga yang dimaksud, hanyalah pengangguran.
Sang penyebar hoaks kini mendekam di penjara. Sementara sang wanita penyebar fitnah, diusir warga karena tidak puas hanya lewat pemberian maaf saja. Keduanya harus menanggung resiko atas perbuatan yang telah membuat kegaduhan di masyarakat.
Kita tentu tidak habis pikir mengapa bisa orang begitu seenaknya menyebar hoaks tanpa lebih dulu memperhitungkan dampak yang akan ditimbulkan. Apalagi hoaks sengaja dirancang untuk membodohi orang lain dan terhasut begitu saja, bahwa itu fakta  yang layak dipercaya.
Mirisnya setiap hoaks yang disebar, begitu mudahnya diterima oleh masyarakat dan dianggap benar dengan pendekatan perasaan atau post truth. Ketimbang menerima hoaks dengan pendekatan nalar yakni terlebih dulu memfilter hoaks yang diterima sebelum bertindak.
Di era digital saat ini dimana informasi begitu mudah diserap, menjadi keniscayaan buat para penyebar hoaks untuk bertindak dengan memanfaatkan medium digital terutama media sosial. Media sosial menjadi instrumen untuk menyebarkan hoaks secara cepat dan biner.
Ditambah lagi sebagian masyarakat yang begitu mudahnya menerima hoaks dengan pendekatan perasaan, membuat para produsen hoaks akan selalu merasa percaya diri. Bahwa target untuk menghasut dan mempolarisasi masyarakat bakal selalu mulus.
Untungnya kita punya aparat Kepolisian yang cepat tanggap dalam menyikapi pelaku penyebar hoaks di masyarakat. Bisa dibayangkan kalau pihak Kepolisian tidak mengungkap bahwa babi ngepet yang dimaksud adalah babi sungguhan yang dibeli tersangka secara online, masyarakat bakal terhasut dengan hoaks tersebut.
Maka kita apresiasi aparat Kepolisian yang sudah bekerja optimal dalam menangani kasus hoaks. Sudah banyak kasus yang ditangani baik yang sengaja disebar di dunia maya maupun dunia nyata. Baik yang dilakukan oleh kaum pria maupun wanita, orang dewasa maupun remaja, dan juga secara individual maupun kelompok.
Namun kita tidak berharap selamanya aparat Kepolisian menjadi pemadam kebakaran semata. Atau bertindak saat hoaks muncul dan sudah lebih dulu berdampak di masyarakat. Yang kita harapkan bagaimana aparat Kepolisian dapat memproteksi agar para produsen hoaks tidak berkesempatan melakukan aksinya, untuk membodohi masyarakat secara berulang ulang.
Sampai disini perlu ada efek jera bagi pelaku hoaks tersebut lewat proses hukum  yang memberatkan. Jika hanya lewat pemberian maaf semata dan tidak mendapat sangsi hukum tegas, maka jangan berharap penyebaran hoaks  bisa diredam dari oknum oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kasus babi ngepet di Depok sudah memberi pembelajaran berarti. Bahwa seorang yang berpredikat tokoh agama saja bisa tanpa beban merancang dan menjadi produsen hoaks untuk menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bagaimana dengan masyarakat awam yang sengaja dimanfaatkan menyebar hoaks untuk kepentingan tertentu.
Bukan apa apa penyebaran hoaks sangat rentan mempolarisasi sesama anak bangsa jika dari sekarang tidak diambil tindakan kongkrit. Momentum seperti kontestasi politik adalah momentum paling rentan penyebaran hoaks dilakukan untuk mempolarisasi masyarakat.
Pengalaman sudah membuktikan bagaimana realitas polarisasi anak bangsa berlangsung secara biner lewat media sosial  dengan konten hoaks dan narasi narasi antagonistik. Polarisasi yang dapat menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa jika tidak diantisipasi sedini mungkin.
Disatu sisi upaya untuk menimalisir fenomena post truth di masyarakat menjadi tugas kita bersama dengan memberikan edukasi dan pencerahan  di ruang ruang publik. Ini sebuah upaya agar masyarakat senantiasa mengedepankan nalar dalam menyikapi sebuah informasi.
Peran stakeholder terutama elit politik untuk melakukan tugas pencerahan sangat dibutuhkan. Tidak sekedar menjadi elit politik yang hampa alias tanpa framing gagasan dan narasi di ruang publik.
Karena sengaja membiarkan fenomena post truth di masyarakat terus terjadi, maka sama dengan membiarkan realitas polarisasi terus terbentang di bangsa ini. Sebuah potensi yang bisa membawa dampak fatal terhadap degradasi bangsa ini kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H