Pemprov Sulteng lewat Biro Hukum
menyikapi secara nornatif terkait regulasi turunan dari UU Cipta Kerja. Dimana ada satu asas dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan yaitu Asas Dapat Dilaksanakan.Â
Asas ini menyatakan bahwa setiap pembentukan Peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Jika melihat pada materi UU Cipta Kerja, justru UU ini memandatkan hal-hal yang sangat mendasar yang sebelumnya diatur dalam tataran Undang-Undang untuk diatur di dalam Peraturan Pemerintah, seperti terkait dengan pembagian kewenangan. UU Cipta Kerja justru memandatkan 454 peraturan yang didelegasikan untuk mengimplementasikan peraturan ini.Â
- Melihat hal ini, justru dikhawatirkan UU Cipta Kerja tidak dapat langsung dioperasionalisasikan dengan baik sebelum Peraturan pelaksana yang dimandatkan diselesaikan.
Disamping itu, UU Cipta Kerja juga mengamanatkan agar peraturan pelaksanaan dari UU yang telah mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja agar disesuaikan paling lama tiga bulan setelah UU Cipta Kerja disahkan. Adapun 454 peraturan pendelegasian ini terdiri: 1 peraturan untuk diatur dengan Undang-Undang; 424 peraturan untuk diatur dengan PP; Â 7 Peraturan untuk diatur dengan Peraturan Presiden; 21 Peraturan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; dan 1 Peraturan untuk diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
"Perlu diapresiasi adanya keinginan Pemerintah Pusat untuk menyederhanakan berbagai kemacetan perizinan dan birokrasi yang menghambat dunia usaha di berbagai daerah melalui UU Cipta Kerja. Oleh karena nya berkaitan dengan hal tersebut kiranya Pemerintah Daerah turut diberikan ruang partisipasi untuk memberikan masukan dalam penyusunan peraturan delegasi, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan Pemda," ujar Kepala Biro (Karo) Hukum Dr Yopie MIP SH MM dihadapan Senator Lukky Semen SE.
Satu hal yang mendapat perhatian oleh Biro Hukum terkait evaluasi Prolegnas yakni adanya UU Nomor Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.Â
Dimana Indikasi Geografis merupakan nama dagang yang dikaitkan, dipakai atau dilekatkan pada kemasan suatu produk dan berfungsi menunjukkan asal tempat produk tersebut.Â
Asal tempat itu mengisyaratkan bahwa kualitas produk tersebut sangat dipengaruhi oleh tempat asalnya, sehingga produk itu bernilai unik dibenak masyarakat, khsususnya konsumen. Yang mana akan tahu bahwa tempat asal itu memang punya kelebihan khusus dalam menghasilkan suatu produk.
Perlindungan atas merk dan indikasi geografis merupakan isu dalam perdagangan internasional. Oleh karenanya perlu dilandaskan pada Prinsip perlindungan hukum terhadap indikasi geografis yaitu Prinsip keadilan, Prinsip Ekonomi, Prinsip Kebudayaan, dan Prinsip Sosial.
Sementara terkait peralihan kewenangan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana revisi UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Barutara yang masuk dalam UU Cipta Kerja, Pemerintah Provinsi pada dasarnya  tidak keberatan selama tidak mempengaruhi pendapatan daerah yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pertambangan yang dilakukan secara transparansi.