Mohon tunggu...
Efrain Limbong
Efrain Limbong Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengukir Eksistensi

Menulis Untuk Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Biografi Dokter di Medan Lara, Jejak Pengabdian Idrus A Paturusi

23 April 2020   15:03 Diperbarui: 23 April 2020   22:18 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Doc  Biografi Dokter di Medan Lara

"Nasihat yang paling penting dalam setiap bencana alam adalah bantulah sebanyak mungkin orang yang menjadi korban, selama kesempatan menolong itu masih ada."

Idrus A Paturusi

Jumat malam tanggal 28 September 2018, Prof Idrus Paturusi baru saja landing di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Tangannya tak berhenti menekan tombol ponselnya untuk merespon berbagai pertanyaan yang tiba-tiba membludak dalam pesan WhastAppnya. Sekitar dua kali, dia menerima telpon yang dijawab dengan lugas. Rupanya, sebelum terbang dari Jakarta, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (UNHAS) itu, sudah dihubungi beberapa petinggi terkait gempa 7,7 magnitudo dan tsunami yang terjadi pada sore menjelang magrib di Palu Sulawesi Tengah.  Sebagai seorang dokter yang telah merasakan pahit-getirnya melaksanakan misi kemanusiaan di berbagai medan bencana, nalurinya sedikit gusar menanggapi berita seputar bencana di Palu.

Bencana alam di Palu bagaikan 'bencana trisula' yang sangat mengejutkan, karena selain gempa dan tsunami, juga disertai dengan likuifaksi yang terjadi di Kelurahan Petobo dan Kelurahan Balaroa di Palu, serta di Desa Jono Ogo dan Desa Sibalaya Selatan di Kabupaten Sigi. Likuifaksi sebenarnya bukan hal baru, karena pernah terjadi di Bantul dan Lombok Barat. Tetapi memang dalam catatan gempa di Indonesia tidak ada likuifaksi yang sehebat dan semasif yang terjadi di Palu.  

Malam itu juga, Idrus menghubungi Kepala Program Studi Orthopedi Fakultas Kedokteran UNHAS Dr. dr. Muhammad Sakti, Sp.OT(K) untuk menyiapkan para spesialis dan residen bedah tulang UNHAS, PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo dan Tim dari PT Semen Tonasa untuk bersiap-siap berangkat ke Palu pada hari Sabtu, tanggal 29 September 2018.

Doc  Biografi Dokter di Medan Lara
Doc  Biografi Dokter di Medan Lara

Idrus sendiri baru tiba di Palu pada hari Minggu tanggal 30 September siang. Dia datang bersama 5 dokter spesialis bedah UNHAS dengan menggunakan helikopter milik Haji Isam, salah seorang pengusaha tambang batu bara yang sukses di Kalimantan Selatan. Saat tiba di RS Undata pada Minggu pagi, Tim Orthopedi UNHAS dan PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo sudah 'disambut' oleh bau menyengat yang bersumber dari halaman samping RS Undata.  Di situ ada sekitar 30-an kantung mayat yang tergeletak begitu saja di dalam kondisi mengenaskan. Kantung mayat itu sudah ada sejak Jumat malam dan belum ada satupun keluarga korban yang datang mengambilnya. 

Jumlah itu belum seberapa dibandingkan jumlah mayat yang dievakuasi ke RS Bhayangkara Palu. Hal ini menjadi sinyal bahwa jumlah korban jiwa di Palu ternyata jauh lebih banyak dibandingkan dengan informasi yang disampaikan media massa dua hari sebelumnya. Ini belum termasuk korban tewas akiba likuifaksi di Kelurahan Petobo, Kelurahan Balaroa dan Desa Jono Oge yang belum sempat dievakuasi oleh Relawan Basarnas dan warga setempat pada hari itu akibat keterbatasan alat dan personil.

Hari itu halaman depan dan halaman samping RS Undata dipenuhi pasien yang tidur di dalam 2 tenda besar. Sebagian lagi tidur di emper dan teras rumah sakit. Tidak ada satupun pasien yang diopname di dalam rumah sakit.  Tim Orthopedi UNHAS dan PSC 119 RS Wahidin serta relawan dari IDI Makassar, IDI Sulawesi Selatan, dan PABOI langsung berkoordinasi dengan Direktur RS Undata, dr. I Komang Adi Sujendra yang didampingi dr. Amsar Praja dan dr. Roberti Mailissa untuk melakukan penilaian ruangan rumah sakit yang masih layak digunakan untuk operasi. 

Setelah disurvei langsung, ternyata hanya 2 ruangan yang bisa digunakan untuk operasi. Alhasil, hari itu proses operasi bisa berjalan hingga tengah malam dan 4 pasien patah tulang bisa terlayani dengan baik. Itulah operasi pasien patah tulang pertama pasca gempa Palu yang dilakukan di RS Undata.  Pada Minggu sore itu pula, ada salah satu proses operasi pasien yang dilakukan tim gabungan tersebut yang mendapatkan perhatian khusus. Pasalnya, salah seorang pasien yang mereka tangani bernama Alfarida, adalah korban yang selamat setelah 2 hari terjebak di dalam reruntuhan bangunan Rumah Makan Dunia Baru.

Di RS Undata ada beberapa kendala yang cukup menghambat kerja-kerja tim medis dalam melakukan proses operasi khususnya pasien patah tulang. Masalah utama adalah tidak adanya aliran listrik, sehingga monitor, air dan AC di ruang operasi tidak bisa dinyalakan. Hal ini juga dialami tim medis di beberapa rumah sakit di Palu. Masalah kedua adalah terputusnya jaringan komunikasi sehingga menyulitkan proses koordinasi antar relawan medis. 

Masalah lainnya yang tak kalah penting adalah keterbatasan alat dan bahan operasi. Padahal pasien patah tulang yang membutuhkan pelayanan medis terus berdatangan.  Di rumah sakit lainnya, tim dan relawan medis yang bertugas di sana hanya bisa melakukan operasi ringan di ruang gawat darurat. operasi bedah tulang tidak bisa dilakukan sama sekali karena keterbatasan sarana dan peralatan.

Melakukan operasi saat gempa Palu tahun 2018. Doc Biografi  Dokter di Medan Lara
Melakukan operasi saat gempa Palu tahun 2018. Doc Biografi  Dokter di Medan Lara

Dalam kondisi seperti ini, Idrus berpendapat bahwa langkah terbaik untuk menolong korban gempa terutama pasien patah tulang adalah dengan merujuk mereka ke Makassar menggunakan pesawat Hercules TNI AU.  Sementara upaya pemindahan pasien ke dalam rumah sakit Undata berjalan 'setengah berhasil', karena sebagian besar pasien menolak masuk ke dalam bangsal karena khawatir akan datang gempa susulan. 

Guna meyakinkan pasien yang masih trauma, Tim Medis UNHAS dan PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo diminta untuk tidur di lantai 2 dan di ruang paviliun lantai 1 RS Undata selama 4 hari.  Hanya saja, udara yang panas di dalam kamar, ditambah bau mayat yang menyengat membuat sebagian relawan medis kesulitan tidur di dalam ruangan. Beberapa anggota tim dan relawan, akhirnya tidur di halaman rumah sakit dengan beralaskan terpal dan beratapkan langit.  Bahkan Idrus sempat tidur di atas kursi besi karena tak tahan dengan panasnya udara di dalam kamar rumah sakit. Upaya pemindahan pasien dari halaman rumah sakit ke dalam bangsal terus dilakukan hingga hari ketiga dan hampir seluruh pasien bersedia untuk masuk. 

Jadi Kurir di Tolitoli 

Sebagai orang Palu yang turut merasakan dasyatnya gempa bumi pada tahun 2018 tersebut, saya sengaja memilih kisah pada bagian 30 berjudul Bencana "Trisula" di Palu sebagai ulasan pembuka dari sebuah buku Biografi berjudul Idrus A Paturusi, Dokter di Medan Lara karya penulis asal Makasar Sili Suli dan Hurri Hasan setebal 353 halaman.  Bukan apa apa, karena yang dikisahkan penulis tentang kondisi di Palu khususnya dan wilayah Pasigala (Palu Sigi Donggala) pada umumnya, adalah sebuah realitas kehidupan pasca bencana yang penuh dengan duka dan penderitaan.

Apa yang tertulis dalam pada bagian 30 tersebut penuh dengan misi kemanusiaan dari dokter Idrus Paturusi yang melayani korban tampa pamrih. Saya ingat betul sang penulis Sili Suli hadir langsung di lokasi bencana untuk mengikuti aktivitas Idrus Paturusi selama di Palu.  Bahkan penulis ikut mengevakuasi jenasah bersama tim dari Baguna PDIP Sulsel dan Sulteng di lokasi lukiufaksi Balaroa Palu, meskipun saya sudah sempat melarang, karena evakuasi harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.

Namun dimaklumi, karena situasi saat itu secara tidak langsung akan menggrakkan naluri kemanusiaan setiap orang, untuk berbuat apa saja demi menolong korban gempa dasyat.   

Mengjadi kurir di Tolitoli tahun 1996. Doc Biografi Dokter di Medan Lara
Mengjadi kurir di Tolitoli tahun 1996. Doc Biografi Dokter di Medan Lara

Namun rupanya pengalaman atas misi kemanusiaan sang dokter di wilayah Sulawesi Tengah juga dikisahkan penulis Sili Suli pada Bagian 9 Berjudul Jadi Kurir di Tolitoli.  Berawal dari adanya gempa tektonik berkekuatan 7 skala Richter, menjadi 'kado' tahun baru bagi warga Tolitoli Sulawesi Tengah, pada tahun 1996 silam. Gempa di Selat Makassar tersebut berpusat pada koordinat 0.6 derajat LU dan 119.92 derajat BT, pada kedalaman 33 km dari dasar laut itulah yang membuat Idrus Paturusi menginjakkan kakinya di Tolitoli.

Gempa disertai gelombang pasang itu berulang sampai lima kali, menyebabkan masyarakat ketakutan akan terjadi tsunami. Air laut yang pasang, telah menerjang rumah-rumah penduduk dan menyeretnya ke lautan. Kerugian masyarakat sangat besar, diperkirakan mencapai ratusan juta rupiah, di mana sebagian warga harus kehilangan rumah akibat terjangan gelombang pasang.  Ada tiga wilayah di pesisir pantai barat Tolitoli yang paling menderita akibat bencana alam tersebut, yaitu di Kecamatan Dampelas Sojol di Kabupaten Donggala, serta Kecamatan Dampal Selatan dan Kecamatan Dampal Utara di Kabupaten Toli-toli. 

Penduduk yang kehilangan tempat tinggal, diungsikan jauh-jauh dari tepi pantai, untuk menghindari kemungkinan terjadinya gelombang pasang susulan. Para korban bencana ini ditampung sementara dalam tenda-tenda darurat yang disediakan pemerintah. Tiga hari setelah terjadinya gempa, AMDA mengutus Idrus Paturusi dan dr. Syafruddin Wahid untuk membawa bantuan obat-obatan ke Tolitoli. Meskipun gempa dan tsunami yang terjadi di Tolitoli cukup besar, namun korban jiwa maupun luka-luka terbilang sedikit.  Karena itulah Idrus cukup menjadi kurir obat-obatan AMDA, karena tim kesehatan dari Depkes Tolitoli dan Pemprov Sulteng, masih mampu menangani keadaan. 

Dari pengalaman di Tolitoli, Idrus terbersit kisah saat perjalanan pulang dari Tolitoli menuju Palu melalu jalur darat dimana harus melewati ruas jalan yang rusak akibat gempa.  Saking rusaknya bahkan terjadi atrian kendaraan di salah satu ruas jalan yang rusak seperti kubangan. Perjalanan mereka akhirnya terhambat di satu ruas jalan yang rusak parah. Perjalanan menempuh jalan darat yang rusak sebagai seorang kurir, itulah yang ternyata masih dikenang oleh Idrus Paturusi.

Penuh Pengalaman Kemanusiaan

Banyak cerita menarik dari pengalaman dokter Idrrus Putrusi saat berada di medan lara. Pada bagian 10 dari biografi tersebut bercerita tentang Uji Nyali di Ambon, dimana Pada tahun 2009 saaat bertugas dalam kondisi konflik horisontal di Ambon, setiap hari pula Idrus bekerja melakukan operasi. Pada umumnya, pembedahan dilakukan terhadap pasien yang terkena peluru, untuk mengeluarkan proyektil yang bersarang di tubuh korban. Bukan hanya korban yang masih hidup yang dibedah, karena terhadap korban tewas pun tetap dilakukan upaya operasi untuk mengeluarkan sisa sisa proyektil sebelum dimakamkan dengan layak.

Pada bagian 11 berjudul Sebulan Bersama Pengungsi Timur Timur. menceritakan dalam tugas pasca Referendum Timor Timur itu, di Kefamenanu  Idrus dan timnya membangun rumah sakit lapangan di sebuah tenda darurat di tengah-tengah barak pengungsi yang dibangun oleh Pemerintah setempat.  Tenda itu didirikan di tepi sungai yang menjadi sumber air para pengungsi. Untuk menjalankan layanan kesehatan, Tim Medis UNHAS ini lalu berbagi tugas. Idrus dan dokter asal Jepang bertugas menangani pasien yang mengalami luka berat dan harus dioperasi.  Sedangkan dokter lainnya memberikan layanan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan penyakit umum, seperti diare, demam, batuk dan perawatan luka ringan.

Doc Biografi Dokter di Medan Lara
Doc Biografi Dokter di Medan Lara

Pada bagian 18 Berjudul Meresapi Duka Nestapa Rakyat Acen, menceritakan pengalaman Idrus Paturusi dan kawan-kawannya sesama dokter, yang untuk pertama kali melihat ada begitu banyak mayat bergelimpangan di tengah kota, ratusan mungkin ribuan dalam hanya satu kali sapuan mata. Di mana-mana sepanjang mata memandang, yang mereka temukan hanyalah mayat dan mayat. Badai tsunami telah benar-benar menghancurkan Aceh. Seluruh tim bekerja keras memberikan pertolongan kepada para korban bencana.  Setiap hari, Idrus juga harus turun tangan melakukan pembedahan terhadap pasien patah tulang, sementara dokter-dokter lain yang tergabung dalam tim medis, tak kalah sibuknya melayani ratusan pasien setiap hari, di ruang perawatan yang serba terbatas dan kondisi seadanya.

Ada lagi pada bagian 29 berjudul Hari Hari Penuh Gempa di Lombok. Bercerita  bagaiman Idurs Paturusi Tim Medis UNHAS benar-benar uji nyali di ruang bedah RSUD Provinsi NTB yang berlokasi di lantai 4 saat bertugas pada tahun 2018.  Saat itu ada beberapa korban gempa yang harus mendapatkan pelayanan bedah. Idrus memimpin langsung proses bedah. Ketika proses operasi sedang berlangsung, gempa susulan muncul. Meja operasi bergerak dan berayun karena digoyang gempa. Beberapa anggota Tim Medis UNHAS yang berada di dalam ruang operasi saling melirik. Idrus memahami kekhawatiran anggota timnya dan dengan santai dia berujar, "Tenang mo ko. Biasa ji ini. Kalau ada gempa susulan, tidak usah lari." ujarnya.

Masih banyak lagi pengalaman empiris  yang dihadapi seorang Idrus Paturusi selama berada di medan bencana yang yang termuat dalam buku ini. Diantaranya Selamat dari Kecelakaan Helikoterdi Nias, Merapikan Jenasah Korban Gempa Padang. Sport Jantung di Perbatasan Pakistan dan Afganistan, Gelombang Esksodus Tki di Nunukan, Sebuah Pelajaran Dari Negeri Sakuran serta bagian bagian lain yang layak untuk dibaca.

Jadi Inspirasi Untuk Dokter Muda

Kehadiran buku biografi seorang Idrus Paturusi ini menambah satu lagi koleksi literasi praktisi kemanusiaan di tanah air. Secara umum buku ini sarat dengan misi kemanusiaan yang dilakukan oleh sang dokter.

Sebuah pengalaman empiris dari tugas dan pengabdian yang sudah dilakukannya di berbagai daerah di tanah air, bahkan di juga negara lain. Membaca buku biografi ini maka kita serasa dibawa pada sebuah perjalanan peradaban yang dilakukan oleh seorang sosok manusia yang penuh dengan spirtualitasnya.  Rasa sedih, haru, prihatin serta rasa salut menyatu dan mengaduk aduk perasaan sebagai pembaca, mengikuti berbagai peristwa yang digeluti oleh sang dokter saat berada di sejatinya medan bencana.

Doc Biografi Dokter di Medan Lara
Doc Biografi Dokter di Medan Lara

Buku ini tidak hanya berkisah tentang sepak terjang Prof Idrus di berbagai medan bencana namun secara implisit sedang bercerita tentang sebuah gerbong besar yang berisi beberapa guru besar yang memiliki semangat kemanusiaan yang tinggi. Seperti Prof. Andi Husni Tanra, MD, Ph.D, Prof. dr. Sjarifuddin Wahid, Ph.D, Sp.PA (K), Sp.F, Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc, Prof. Dr. dr. Nurpudji Astuti Daud, MPH. Sp.GK(K) , Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes, Prof. dr. Budu, Ph.D, Sp.M(K)M dan beberapa lainnya. Para guru besar ini, tidak sekedar memberi kuliah tentang kemanusiaan tetapi melakukan aksi nyata di lapangan.

Pada lapis kedua terdapat sejumlah doktor dan spesialis yang banyak disebut-sebut dalam buku seberat 1,9 kg ini seperti dr. Muhammad Nuralim Mallapasi, Sp.B, Sp.BTKV, dr. Hisbullah Amin, Sp.An,  KIK, KAKV. dr, Muhammad Andry Usman, Sp.OT, Ph.D, Dr. dr. Muhammad Sakti, Sp.OT (K), dan beberapa lainnya yang memiliki jam terbang tinggi dalam di berbagai medan bencana. Dengan jam terbang yang mumpuni, lapisan kedua gerbong kemanusiaan UNHAS ini, akan secara mandiri bergerak bilamana terjadi bencana.

Sedangkan di 'lapisan ketiga' ada berbagai lembaga kemahasiswaan seperti TBM Calcaneus, KORPALA, SAR UNHAS, KSR PMI, TBF Sternum, PRC Fak Farmasi, Siaga Ners, SPE UNHAS SC, dan UKM lainnya yang selalu siap terjun dalam aksi kemanusiaan di medan bencana.  Ada lagi salah satu elemen yang memiliki kontribusi besar dalam setiap aksi kemanusiaan yang dilakukan Prof Idrus Paturusi, baik di dalam maupun di luar negeri, yaitu alumni UNHAS yang dimotori oleh Jusuf Kalla.

Dalam buku ini, Prof Idrus Paturusi secara blak-blakan mengakui peran dan andil Jusuf Kalla dalam beberapa aksi kemanusiaan yang dilakukannya baik dengan atas nama Tim Medis UNHAS, maupun atas nama AMDA, Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur, PSC 119 atau Tim Medis Sulsel.  Selain Jusuf Kalla, tentu masih ada banyak alumnus UNHAS lainnya yang memberikan sumbangsih khususnya mereka yang menjabat sebagai Menteri, anggota DPR, Dirjen, Kepala Daerah, Komisaris, direksi BUMN, pimpinan rumah sakit, dokter TNI, dokter Polri maupun pengusaha.

Lewat buku yang dicetak secara eksklusif ini ini saya merekomendasikan agar selayaknya dimiliki oleh siapa saja termasuk para dokter muda yang peduli pada kemanusiaan.  Lewat buku ini bisa menjadi inspirasi, literasi bahkan referensi dari pengalaman yang digeluti oleh seorang dokter Idrus Paturusi pada tapak tapak pengabdiannya melakukan misi kemanusian di berbagai tempat. 

  • Dokumentasi foto yang ada didalam buku tersebut adalah bukti apa yang dilakukannya di medan pelayanan ia datangi, tanpa ragu dan tanpa pamrih. Kita berharap jejak pengabdian dokter Idrus Paturisi bisa diikuti oleh dokter lainnya di tanah air, saat musibah atau bencana datang tidak terduga dan banyak yang menjadi korban. Profesi yang diharapkan keberadaannya pada fase pertolongan pertama saat bencana terjadi.

Dari sebuah penggalan tulisan pada buku ini, Idrus Paturusi meyakini bahwa setiap bencana memberikan hikmah dan nasihat secara tidak langsung kepada umat manusia. Dan nasihat yang paling penting dalam setiap bencana alam adalah bantulah sebanyak mungkin orang yang menjadi korban bencana alam selama kesempatan menolong itu masih ada.  Bisa jadi atas refleksi dari sikap hidupnya tersebut, maka sebuah adagium ia sematkan dalam buku biorgrafi tersebut bahwa, "Jangan pernah menghitung apa yang pernah kau berikan, tapi ingatlah apa yang telah kau terima,"

Wajar jika dalam testimoninya dalam buku tersebut Rektor Unhas Prof Dr Dwia Aris Tina Pulubuhu MA mengakui, kalau respon Prof Idrus A Paturusi untuk memberi bantuan kepada masyarakat dalam bencana sangat cepat dan total. Kalau menolong tidak setengah setengah. Beliau juga mampu menggalang banyak bantuan pihak lain dalam mensupport. Hal senada disampaikan Pendiri AMDA dr Shigeru Suganami, bahwa dokter Idrus adaah doker yang hebat dan bisa dipercaya. Dia selalu berada paling depan disaat terjadi disarter. Dia tidak peduli apapun yang terjadi. Dia akan selalu datang paling duluan di lokasi bencana.

Rasanya sudah terlalu banyak yang sang dokter berhati mulia tesebut lakukan dan berikan untuk negeri ini. Dalam masa pandemi corona saat inipun Idrus Paturusi juga ikut mengambil peran dalam  melakukan tugas antisipasi penanganan pandemi corona di Sulawesi Selatan, bahkan sempat terpapar sebelum dinyatakan sembuh. 

Buku ini adalah saksi bisu dari apa saja yang sudah ia perbuat dalam hidupnya. Setelah membuat ulasan dan mengkonsepsikan isi buku, rasanya terpantaskan jika saya harus menyerahkan buku ini kepada rekan dokter agar bisa menjadi inspirasi dan mengikuti apa yang sudah dilakukan oleh sosok Idrus Paturusi.  

Selamat atas terbitnya buku ini, semoga bermanfaat.

Palu 23 April 2020   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun