Mau tidak mau saya merasa tersindir  waktu  Mbak Novrita Savitri, SSi, MM, CFP, Perencana Keuangan Independen bilang kalau sebenarnya  dengn uang berapa pun yang kita pegang bisa hidup, lho.  Pertanyaannya komitmen kita untuk nabung  itu sudah seberapa besar?
Itu yang terus merecoki pikiran saya  saat menghadiri  acara Nangkring Kompasiana bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)  di Brooklyn Cafe, Jalan Purnawarman No.2, Bandung tanggal 16 April 2016 lalu. Menghadirkan nara sumber lainnya Samsu Adi Nugroho, Sekretaris Lembaga Penjamin Simpanan dan Mas Isjet dari  Kompasiana. Sekitar 50  anggota Kompasiana Bandung (KBandung) menyimak  paparan  seru dan mencerahkan dalam acara selama kurang lebih 3 jam itu.
Saya bergidik ngeri ketika  slide di panggung  memperlihatkan lembaran uang  yang terbakar dalam musibah kebakaran di sebuah pasar. Kalau sudah begini  mau mengadu  atau minta ganti rugi pada siapa, coba? Menyimpan lembaran uang dalam jumlah yang banyak  bukan sesuatu  hal yang bijak. Selain risko terbakar (duh ya Allah, naudzubillah, jangan sampai kita alami, ya), rusak dimakan rayap atau dicopet/dicuri  adalah risiko lainnya  yang pasti kita hindari. Ya, kan?
Saat ini Kurang lebih 99 persen dana nasabah di bank dengan nominal di bawah 2 milyar. Ternyata kalau dikumpulkan setara dengan  0,04 persen dana nasabah  yang punya nominal besar. Itu pun dengan catatan  ada sekitar 176 juta rekening yangg tercatat. Asumsinya mininal setiap orang rata-rata punya  rekening  yang berbeda. Berarti  baru sekitar  88 jutaan penduduk Indonesia  yang punya kesadaran menabung dari  keseluruha  jumlah penduduk indonesia  yang totalnya ada 250 jutaaan. Masih banyak potensi calon nasabah yang bisa terjaring untuk aktif menabung, dari usia sekolah sampai dewasa dengan berbagai jenis tabungan.
Proyeksi Dana Masa Depan dengan Menabung
Tapi kan, menabung di bank itu malah kena baiaya potongan administrasi setiap  bulannya? Belum potongan pajaknya.Pasti kepikiran juga masalah soal  ini, kan?
Iya, saya  juga mikirnya gitu.  Tapi gini deh, dengan uang yang tersimpan di atm aja kita masih gatel pengen menghabiskan. Bukan semata karena faktor butuh atau mepet.  Kadang kita dibuat samar mana skala prioritas tau mana yang sekadar ingin. Apalagi kalau semuanya kita pegang?  Bukan berarti kita ga boleh bersenang-senang semisal  ngopi, makan di resto atau jalan-jalan.  Pos rekreasi itu  boleh ada, kok. Tapi  tetep ya,  harus punya  rencana. Dahulukan  mana yang pengeluaran rutin, yang urgent, rencana masa depan, baru deh kita bersenang-senang.  Ojo kesusu  kata orang  Jawa mah atau tong rurusahan dalam bahasa Sunda, bahasa ibu saya  hehehe.
- Catat rencana  setiap pengeluaran termasuk kalau  kita punya banyak keinginan. Tentukan mana sekala prioritas, dan mana yang rekreasi. Tanya hati kecil kita ya. Kalau bepikir jernih bisa kok membedakan.
- Mau beli perhiasan? Â Okesip. Â Nabung, jangan ujug-ujug beli. Beli tas, perhisan, Â baju baru? Jangan tergiur diskon. Sabar dengan komitmen, tungu sampai anggaran yang akan dibutuhkan terkumpul. Â Â
- Jangan lupa untuk menganggarkan simpanan jangka panjang. Misalnya membeli rumah, dana pendidikan dan sebagainya.
- Variasikan simpanan kita dalam berbaga bentuk.  Kita tetap membutuhkan simpanan yang sifatnya likuid  seperti tabungan yang bisa dicairkan sewaktu-waktu.  Dalam keadaan urgent. Atau  investasi  jangka panjang misalnya dengan deposito atau mengalihkan simpanan dalam bentuk emas.  Seperti yang kita ketahui kalau nilai emas ini stabil, akan terus bertambah  pada masa depan,  dan aman dari gangguan inflasi.
Saya masih inget tuh, jaman saya kuliah dulu, tahun 98  terjadi krisis moneter yang parah.  Banyak bank yang jatuh, lalu  terjadi kepanikan dan nasabah ramai-ramai menarik dananya di Bank. Sehebat apapun dana bank  besar, kalau terjadi rush bisa goyah juga. Masih ingat tidak,  saat itu Bank Danamon  sempat terusik dan harus berjuang kalau tidak mau dilikuidasi?  Kalau bank Danamon bisa lolos dan bertahan sampai sekarang, waktu itu banyak bank-bank yang akhirnya dimerger, atau bank  kecil  yang harus gulung tikar. Kondisi ini mengkhawatirkan nasabah yang tidak ingin dananya hangus begitu saja. Bank Mandiri adalah contoh darigabungan bank  yang tidak sehat pada waktu itu (Bank Bumi Daya, Bank Dagang negara Bank Ekspor impor dan  Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
Maka, pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah mengesahkan UU Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Undang-undang ini mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 22 September 2005, bersamaan dengan mulai  beroperasinya LPS.
Lalu,  gimana ceritanya LPS bisa menjamin dana nasabah?  Eits, jangan suuzhan. Dana yang dikumpulkan untuk menjamin nasabah bukan diambil dari APBN, lho. Setiap  bank peserta LPS ini wajib menyetorkan sejumlah dana, ya anggap aja semacam arisan. Selain  mengelola dana yang terkumpul dari bank peserta yang terjamin,  LPS juga  bersinergi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menguasai aset bank yg ditutup secara resmi oleh OJK. Sementata itu untuk pencarian dana nasabah dari bank yang terlikuidasi  pun tidak asal-asalan. Ada  tahapan yang harus dilalui yang dibayarkan oleh bank lain yang ditunjuk  untuk mengurusnya.