Mohon tunggu...
Efi Susilawati
Efi Susilawati Mohon Tunggu... Administrasi - Membaca,Traveling,Nonton dan Menari Tradisional

Silih asah silih asih silih asuh

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Eksistensi Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Perspektif Sistem Hukum Nasional

4 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 4 Oktober 2022   17:12 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dengan demikian, upaya hukum untuk memisahkan kedudukan dan peran Hukum Islam dari Hukum Adat semakin jelas dan terarah.

Sebagai hukum yang sebagian besar tidak tertulis, maka Hukum Adat yang semula dikonsepsikan bersama dengan Hukum Islam juga berhadapan dengan kuatnya sistem perundang-undangan sebagai sistem hukum yang berlaku. Hukum Adat yang sebagian besar tidak tertulis, berhadapan dengan sistem hukum perundang-undangan yang bersifat tertulis, dan kenyataannya hingga pasca-kemerdekaan Indonesia, produk hukum kolonial sebagai warisan hukum Belanda, terus berlaku sebagai sumber hukum dalam tata hukum di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. 

3. Eksistensi Hukum Islam dan Hukum Adat

Kedua sistem hukum di Indonesia tersebut saling pengaruh-mempengaruhi yang menunjukkan sebagai sistem terbuka, namun dalam perkembangannya terjadi penggerusan dan pelemahan terhadap kedudukan Hukum Adat sebagai suatu sistem hukum baik terhadap substansi hukumnya maupun terhadap struktur hukumnya.Sedangkan pada Hukum Islam terjadi justru sebaliknya, dan Hukum Islam semakin mempersiapkan dan melengkapi dengan berbagai substansi hukum maupun struktur hukumnya. 

Suatu sistem hukum senantiasa terdapat tiga unsur atau komponennya menurut Lawrence M. Friedman (dalam Achmad Ali, 2009), yakni unsur struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum. Dalam Hukum Adat, bagian dari substansi hukumnya seperti penghapusan pengadilan adat dan dengan demikian penghapusan pula terhadap struktur hukumnya, telah berlangsung pasca-kemerdekaan Indonesia. Padahal, putusan-putusan pengadilan adat menjadi bagian penopang eksistensi Hukum Adat. 

Ketika berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditentukan penghapusan peradilan adat dalam Pasal 39, dan berdasarkan penjelasan atas Pasal 39 ini disebutkan bahwa berdasarkan pada UU No. 1 Drt. Tahun 1961 tentang tindakan sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan, Susunan, Kekuasaan dan Acara Peradilan, Sipil, pada Pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara berangsurangsur telah menghapuskan Pengadilan Adat/Swapraja di seluruh Bali, Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan dan Jambi. Dengan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1966 tentang Penghapusan.Pengadilan Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negara di Irian Barat.Peraturan Presiden tersebut berdasarkan UU No. 5 Tahun 1969 telah ditingkatkan menjadi UU. 

Hukum Islam justru sebaliknya. Ketika Pengadilan Adat tidak dikenal sekarang ini sebagai bagian dari sistem peradilan nasional, maka Hukum Islam, khususnya melalui Peradilan Agama telah diberikan landasan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai salah satu lingkungan peradilan (Pasal 24 ayat (2)). Ketentuan konstitusional yang menunjukkan dasar hukum Peradilan Agama tersebut kemudian diturunkan dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan diatur dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, serta menentukan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan negara. 

Justru penguatan Peradilan Agama sebagai sistem hukum di Indonesia semakin bertambah dengan adanya sejumlah peraturan perundang-undangan yang mendukung dan memperkuat kewenangan Peradilan Agama, antara lain dalam Pengelolaan Zakat, Pengelolaan Haji, Perbankan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) (Sukuk), yang memperlihatkan suatu formalisasi Hukum Islam ke dalam Hukum Perundang-undangan. 

engaruh sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law) melalui sistem hukum Indonesia menunjukkan ciri posotivistik yang mampu diterima dan diterapkan dalam sistem Huku Islam melalui formalisasi Hukum Islam. Sementara itu, sistem Hukum Adat yang juga diatur dan dikembangkan lebih lanjut dari hukum perundang-undangan, justru memperlihatkan kontroversi seperti pengakuan hak masyarakat adat khususnya hak ulayat dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, karenahak ulayat masyarakat adat sebenarnya telah hilang dan upaya mengembalikannya bukanlah suatu hal yang mudah. 

Sistem Hukum Adat juga menunjukkan gradasinya, dari semula Hukum Adat ke Hukum Kebiasaan, akhirnya hanya menjadi adat-istiadat (adat-kebiasaan) yang ditemukan dalam praktik-praktik perkawinan adat, pakaian adat, dan lain-lainnya, yang sekedar upaya mengembalikan jatidiri agar eksistensi Hukum Adat masih ditemukan dalam masyarakat dan sistem hukum nasional. 

KESIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun