Mohon tunggu...
Effendy Wongso
Effendy Wongso Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Jurnalis, fotografer, pecinta sastra

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Dari Penganan Bacang hingga Perahu Naga, Inilah Sejarah Festival Duanwu

9 Juni 2024   14:31 Diperbarui: 9 Juni 2024   14:49 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Festival Duanwu masih asing di Indonesia kecuali di Medan dan beberapa daerah dengan mayoritas etnik Tionghoa di Kalimantan. (Foto: Effendy Wongso)

Dalam perkembangan tradisi ini, keberadaan perahu-perahu nelayan yang mencari jasad Qu Yuan di masa lampau, kemudian diimplementasikan menjadi Perahu Naga, yang pada perkembangan selanjutnya, diperlombakan dalam setiap perayaan Duanwu, baik skala regional maupun internasional.

Adapun tradisi lainnya yang sudah pasti adalah menyantap bacang. Tradisi makan bacang secara resmi dijadikan sebagai salah satu kegiatan dalam Festival Duanwu sejak Dinasti Jin. Sebelumnya, walaupun bacang telah populer di Tiongkok kuno, namun belum menjadi makanan simbolik festival ini.

Bacang Tidak Melulu Berbentuk Prisma Segitiga

Bentuk bacang sendiri sebenarnya bervariasi tidak hanya berbentuk prisma segitiga. Akan tetapi, yang kita lihat sekarang hanya salah satu dari banyak bentuk dan jenis bacang tadi. Di Taiwan, pada akhir pemerintahan Dinasti Ming, bentuk bacang yang dibawa pendatang dari Fujian adalah bulat gepeng, agak lain dengan bentuk prisma segitiga yang kita lihat sekarang.

Isi bacang juga beragam, bukan hanya daging namun juga ada yang berisi sayur-sayuran (chai cang), ada pula yang dibuat kecil-kecil (mini) namun tanpa isi yang kemudian dimakan bersama saus dari gula aren.

Beberapa tradisi yang asing dan sudah jarang dilakukan pada saat Duanwu adalah menggantung rumput "Ai" dan "Changpu". Kedua rumput ini adalah jenis ilalang yang banyak dijumpai di Asia. Tradisi menggantung kedua jenis rumput ini lantaran Duanwu yang jatuh pada musim panas biasanya dianggap sebagai bulan wabah penyakit, sehingga rumah-rumah penduduk biasanya melakukan ritual pembersihan dengan menggantungkan rumput ini yang diyakini dapat "menyapu" penyakit-penyakit tersebut.

Selanjutnya, tradisi langka lainnya adalah "Mandi Tengah Hari". Tradisi ini cuma ada di kalangan masyarakat yang berasal dari Fujian (Hokkian, Hokchiu, dan Hakka), Guandong (Teochiu dan Kengchiu), dan Taiwan.

Mereka mengambil dan menyimpan air pada tengah hari Festival Duanwu ini, yang diyakini dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit dengan cara mengguyur atau membasuh tubuh. Air yang diambil pada siang hari saat Duanwu, juga dapat direbus untuk diminum, sebab diyakini dapat menyembuhkan penyakit.

Sehingga, dalam perkembangannya Duanwu dirayakan dengan berbagai tradisi yang telah berasimilasi daerah setempat. Festival Duanwu saat ini tidak hanya dilakukan etnik Tionghoa, tetapi juga etnik non-Tionghoa seperti di Mongolia, Korea, dan beberapa negara dengan mayoritas penduduk non-Tionghoa lainnya.

Bacang Masih Asing dan Belum Populer di NTT

Kendati masih asing dan belum populer di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Kota Kupang namun bukan berarti penganan yang terbuat dari beras ketan ini sama sekali tidak ada. Pasalnya, meskipun jumlah komunal Tionghoa sedikit dan menjadi minoritas di NTT, tetapi konsumennya tetap ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun