Sementara, asal mula kata "putu" tidak lepas dari suatu naskah sastra lawas, Serat Centhini yang ditulis pada 1814 di masa Kerajaan Mataram. Dalam manuskrip itu termaktub atau muncul nama 'puthu'. Selanjutnya, sesuai ejaan yang disederhanakan, kata puthu menjadi "putu".
Femy menjelaskan, dalam naskah lawas itu disebutkan Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyediakan hidangan pagi.
"Nah, hidangan atau penganan pagi itu berupa sajian makanan pendamping serupa serabi dan sejenis 'puthu'," paparnya.
Begitu pula di naskah lainnya, sambung Femy, puthu identik kudapan yang disajikan pada pagi hari. Isian puthu ikut berubah dari kacang hijau menjadi gula Jawa atau gula aren yang tentunya pada saat itu lebih mudah diperoleh.
Serupa dalam naskah lawas terkait penganan putu, saat proses mengukus terdengan suara nyaring mirip "tangisan".Â
Sehingga, dalam perkembangannya di luar Pulau Jawa yang didiami diaspora Jawa, terutama di Sulawesi Selatan, kue tradisional ini disebut "Putu Nangis" alih-alih nama aslinya.
"Dalam perkembangannya pula, Putu Ayu di Sulawesi Selatan nggak hanya menggunakan tepung beras atau tepung terigu lantaran juga menggunakan beras ketan hitam," terang Femy.
Lebih lanjut ia menjelaskan, putu versi Bugis khususnya di Makassar dan Kabupaten Bone memakai beras ketan hitam tanpa gula.
"Uniknya, putu itu dimakan dengan taburan parutan kelapa dan sambal. Putu Bugis biasanya hanya dijual pagi hari sebagai pengganti sarapan yang praktis," beber Femy.
Dijelaskan, sejatinya Putu Ayu berbeda dibandingkan kue putu yang biasa dijual keliling dengan ciri khas bunyi nyaring.