Jakarta, 11 Desember 1999
"Nama Kakak Eyang, ya?"
Saya mengangguk. Sekilas menatap wajah tirus yang mengarah begitu dekat ke pipi kanan saya. Saya meneruskan mengawasi panggung.
"Lho, kok Eyang sih?"
"Memangnya kenapa?"
Dia tersenyum. Samar. Lalu menggeleng pelan. "Nggak apa-apa," begitu jawabnya. "Cuma aneh."
"Lha, kok aneh?" Kali ini saya menatapnya serius. Cowok ceking itu sudah terkekeh. Bahunya bergetar hebat. Tapi dia sama sekali tidak meledek saya. Saya tahu, seperti orang-orang yang baru mengenal saya, mereka pasti akan menertawakan nama saya. Eyang.
"Eyang kan, artinya...."
"Nenek-nenek!" ketus saya, menyalibi.
 agaimanapun juga, saya tidak dapat menutupi perasaan saya. Saya bosan ditanyai-tanyai tentang nama saya yang kedengaran aneh di telinga orang lain. Padahal, apa sih jeleknya nama Eyang itu?! Bagi saya, itu merupakan nama terbaik dan terindah sedunia. Iya, sedunia! Karena menurut Mama, nama Eyang punya makna yang dalam. Formalnya sih, sakral.