Mohon tunggu...
Efendy Marut
Efendy Marut Mohon Tunggu... -

Imajinasi, juga ingin dikekalkan via kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Perihal Ibu Kota: Dengan dan Tanpa Ahok

11 Mei 2017   13:29 Diperbarui: 11 Mei 2017   13:48 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kerap kali tebersit dalam benak saya; Jakarta adalah ibu kota yang tak lebih dari kampung besar nan sontoloyo yang akhir-akhir ini berisi amukan masa dengan caci-maki serta seruan-seruan tak etis, juga hirup pikuk aksi berjilid-jilid di tengah kesungguhan warga yang tengah berjeri-lelah mengais nafkah. Kota ini ibarat sebuah teks yang memancing aneka tafsir atasnya. Teks yang berisikan gagasan-gagasan, harapan, juga keputusasaan.

Jakarta, memang barangkali juga merupakan ruang pertarungan gagasan, harapan dan keputusasaan tanpa kesimpulan akhir. Sebagai teks pun, ia tetaplah multitafsir. Tapi de facto, ia lebih pas jika kini dilihat dari konteks, situasi real hari ini. Ya, Jakarta memang ruang di mana benci, simpati dan prasangka melebur dan menjelma sungai dari sumber yang tak jelas asal-usulnya. Jangan-jangan dari kebencian itu sendiri.

Saya berangan-angan dahulu, lantas menemukan siapa sosok yang pas untuk bertindak di balik teks bernama Jakarta ini. Tidak butuh sentuhan dewa dari langit ketujuh bagi saya menemukan seorang Basuki yang paling pantas memberi cahaya bagi teks yang tengah butuh kejelasan untuk ditafsir secara benar. Semenjak menginjakkan kaki di Jakarta, saya menjadi optimis dan bergairah membidik teks ibu kota ini, lantaran angin segar yang tampak dari seorang Basuki.

Dia memang kerap kali diteriaki kafir, orang asing, dll. Yah, dia memang minoritas di kota ini, layaknya saya. Kami menerima diri sebagai minoritas, tapi jiwa kami tidak kecil jika diberi ruang untuk mewujudkan segala niat baik untuk kota ini.

Di kota ini, kita adalah peziarah yang ditakdirkan untuk terus mencari serta menyerahkan nasib pada setiap peristiwa kehidupan. Laksana musafir merindukan air di tengah gurun pasir, di ibu kota ini kita merindukan kejujuran yang lahir dari orang-orang pilihan. Dan memang kita akhirnya diberi kejutan dengan hadirnya seorang manusia langka, yang menenteng kejujuran pada nuraninya untuk kemudian dihadiahkan kepada peziarah-peziarah yang kehausan di kota ini.

Kita telah begitu lama mengharapkan kejujuran itu, setelah bertahun-tahun dibelenggu oleh jejaring mafia, korupsi, ketamakan wajah-wajah lama, para pemimpin dengan spirit lama; ketidakjujuran.

Di kota ini pula, saya kemudian tergerak lagi dan lagi untuk membuka hati pun budi pada setiap kejutan yang datang. Memilih hidup selama 4 tahun di Jakarta berarti memilih mengabdikan nasib pada beragam kejutan yang menghampiri, untuk tidak dengan gegabah mengatakan menyerah pada nasib menjadi seorang minoritas di tanah orang.

Memang, sebagai minoritas beragam pertanyaan kerap muncul bersamaan dengan rasa takut, pesimis dan inferior tatkala ‘membaca’ Jakarta yang berisikan gagasan-gagasan picik, kata-kata benci dan gaya bahasa penuh prasangka dan dusta. Di momen itulah kiranya, kejutan bernama Ahok pun muncul sembari memberi inspirasi dan menularkan spirit bernama KEJUJURAN.

Dari masa ke masa, kejujuran itu sejatinya mimpi yang tak mudah menjelma peristiwa nyata di kota ini. Dari dulu, ia masih sekadar gagasan yang enggan menjelma peristiwa.

Ya, saya masih ingat dan paham. Sesungguhnya Jakarta adalah ruang pertarungan makna, gagasan, harapan dan keputusasaan. Persis pada titik ini, barangkali kejutan bernama Ahok bisa menjadi batu uji rasionalitas warga ibu kota. Mungkin, Ahok adalah kemewahan, lantas tak mudah diraih.

Di arena pertarungan, bahkan dia menerima kekalahan, lebih tepatnya “lebih baik mengalah” demi ibu kota yang tak pernah mau move on  dari segala kenyamanan semu berselimutkan dusta dan prasangka ini. Ahok kalah dalam pilkada yang sarat dengan keboborokan; diserang dari isu sara, dilawan dengan mobilisasi masa, diserang dengan ayat-ayat (dan bahkan mayat).

Dia kalah, tapi justru meninggalkan jiwa kemenangan seorang ksatria yang tak gentar menangkis cambukan bagi para pendukungnya yang selalu waras.

Ibu kota, teks yang tak sudi digenggam kejutan. Jakarta, ruang yang tak ingin ditata oleh keindahan seorang Ahok, tak pernah rela diterangi cahaya baru, dan tak sudi dihadiahkan oleh purnama yang ikhlas. Lantas, kejutan bernama Ahok itu kini dibiarkan berlalu begitu saja. Di tangan hakim, dia malah dihakimi sebagai penjahat. Di ruang pengadilan, dia malah dititip kado keji bernama ketidakadilan.

Ahok, kini laksana pelita yang dibenam di bawah kolong ranjang para pemuja ketidakjujuran. Dia ibarat purnama yang tak pernah disyukuri cahayanya oleh mereka yang ingin hidup nyaman dalam gemerlap semu bernama kepicikan, ketamakan dan kesombongan.

Kini, Ahok tersenyum dari balik jeruji besi. Ruang hening yang dihuninya bukan ruang sepi. Ruang itu seakan memberinya peluang berbincang dengan dirinya sendiri, sebagai seorang yang telah meninggalkan inspirasi bagi ibukota, yakni kejujuran. Ahok tahu, menjadi cahaya di tengah kerumunan manusia yang gelap nurani adalah misi mustahil.

Dia sadar bahwa hadir sebagai kejutan di antara celah ruang kenyamanan semu warga kota adalah tugas yang tak mudah dan tak bisa sekali tuntas. Barangkali Ahok, dari balik jeruji itu, dengan hening dan sunyi berdoa, “Semoga Tuhan menerangi ibu kota dengan cahaya-cahaya kejujuran yang baru.”

Ahok dipenjara, lantas kita bisa apa? Karangan bunga adalah simbol kemauan untuk hidup dalam kejujuran. Temaran lilin-lilin juga adalah simbol komitmen untuk menjadi cahaya kejujuran bagi siapa pun, di ibu kota atau di NKRI tercinta ini. Kepada kita dan kota ini, Ahok menitipkan Cahaya dan Purnama; kejujuran.

Efendy Marut, "karena aku juga seorang minoritas di negeri ini."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun