Dia kalah, tapi justru meninggalkan jiwa kemenangan seorang ksatria yang tak gentar menangkis cambukan bagi para pendukungnya yang selalu waras.
Ibu kota, teks yang tak sudi digenggam kejutan. Jakarta, ruang yang tak ingin ditata oleh keindahan seorang Ahok, tak pernah rela diterangi cahaya baru, dan tak sudi dihadiahkan oleh purnama yang ikhlas. Lantas, kejutan bernama Ahok itu kini dibiarkan berlalu begitu saja. Di tangan hakim, dia malah dihakimi sebagai penjahat. Di ruang pengadilan, dia malah dititip kado keji bernama ketidakadilan.
Ahok, kini laksana pelita yang dibenam di bawah kolong ranjang para pemuja ketidakjujuran. Dia ibarat purnama yang tak pernah disyukuri cahayanya oleh mereka yang ingin hidup nyaman dalam gemerlap semu bernama kepicikan, ketamakan dan kesombongan.
Kini, Ahok tersenyum dari balik jeruji besi. Ruang hening yang dihuninya bukan ruang sepi. Ruang itu seakan memberinya peluang berbincang dengan dirinya sendiri, sebagai seorang yang telah meninggalkan inspirasi bagi ibukota, yakni kejujuran. Ahok tahu, menjadi cahaya di tengah kerumunan manusia yang gelap nurani adalah misi mustahil.
Dia sadar bahwa hadir sebagai kejutan di antara celah ruang kenyamanan semu warga kota adalah tugas yang tak mudah dan tak bisa sekali tuntas. Barangkali Ahok, dari balik jeruji itu, dengan hening dan sunyi berdoa, “Semoga Tuhan menerangi ibu kota dengan cahaya-cahaya kejujuran yang baru.”
Ahok dipenjara, lantas kita bisa apa? Karangan bunga adalah simbol kemauan untuk hidup dalam kejujuran. Temaran lilin-lilin juga adalah simbol komitmen untuk menjadi cahaya kejujuran bagi siapa pun, di ibu kota atau di NKRI tercinta ini. Kepada kita dan kota ini, Ahok menitipkan Cahaya dan Purnama; kejujuran.
Efendy Marut, "karena aku juga seorang minoritas di negeri ini."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI