Mohon tunggu...
Efendi Rustam
Efendi Rustam Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya memiliki ukuran moral dan persepsi sensualitas yang mungkin berbeda dengan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Tercipta Bukan untuk Kumbang

29 Oktober 2017   11:25 Diperbarui: 29 Oktober 2017   11:43 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Bunga selalu tercipta untuk Kumbang?

Kalau menurut pakem, jawabannya pasti iya. Namun bila ternyata ada bunga yang madunya dihisap lalat, saya pastikan itu hanya lakon carangan belaka.

Kembali ke Kumbang. Maaf..., maksud saya, mas Kumbang. Dia laki-laki berbodi sport dengan desain macho yang akan membuat mata perempuan yang melihatnya berubah menjadi lopelope. Itu kalau mas Kumbang dalam posisi diam tak bersuara. Lalu bagaimana kalau dia sudah bersuara? Klemak-klemek kaya Janoko Jambon kurang tajin. Benar-benar njelehi, sama seperti dia merasakan nasib kejombloannya. 

Iya, bagi mas Kumbang, menjadi jomblo itu sangat njelehi, bahkan terasa nyeseg kalau benar-benar diresapi apalagi bila posisinya sudah hampir mendekati fase mapan. Bagaimana tidak, di saat beberapa laki-laki lain pusing menjual celana color bermotif flower-flower untuk bekal wakuncar, mas Kumbang malah merasa kalau kartu ATM-nya selama ini serasa tidak berguna.

Hingga pada suatu waktu. Di gardu Poskamling. Ketika hanya ada saya, mas Kumbang dan kesunyian malam.

"Pak, curhat...," kata mas Kumbang.

"Oiya, mas. Silahkan," jawab saya. "Semoga saya bisa sedikit meringankan beban sampeyan."

"Dik Bunga itu kesenangannya apa, pak?." 

Dyar....!!!

Saya terhenyak. Ingin rasanya langsung teriak, itu bukan curhat, oe.....!! Itu namanya pertanyaan...!! tapi masih saya tahan. Saya perhatikan air muka mas Kumbang. Tanpa ekspresi, datar, sorot matanya kosong. Oke, berarti dia serius berniat curhat, dan bukan berniat menghina saya. 

Jujur, ini curhatan paling wuasu yang pernah saya terima. Bagaimana tidak. Saya tidak kenal mbak Bunga, belum pernah ngobrol apalagi sampai bercengkerama face to face. Blaasss..... Lha kok tega-teganya menganggap seolah-olah saya ngerti semua tetek dan bengek-nya mbak Bunga. Sangat jelas, mas Kumbang telah melecehkan marwah saya sebagai suami yang menjunjung tinggi prinsip monogami. Kurang ajar sekali, kan?

Tak apalah. Saya maklum. Mas Kumbang adalah jomblo alami. Hatinya masih suci, belum pernah terjamah meski banyak perempuan telah mengetahui keindahannya tapi belum ada yang berminat untuk mengeksploitasi apa lagi menginvestasikan cintanya pada mas Kumbang.

Lalu siapakah mbak Bunga yang dimaksud mas Kumbang tadi?

Oke, saya flashback sebentar.

Mbak Bunga, gadis manis yang energic, supel, pinter, dan berbagai nilai plus lainnya yang membuat hati mas Kumbang deg deg sir dan panas dingin setiap kali membayangkannya. Perkenalan mereka diawali ketika mbak Bunga and the gengs melakoni kegiatan kampus di kampung ini sebulan yang lalu. Tidak perlu berpeluh keringat apalagi sampai harus menguras seluruh stamina bagi mas Kumbang untuk menjatukan cintanya pada mbak Bunga. Kerlingan pertama mbak Bunga begitu menggoda, selanjutnya mas Kumbang semaput.

"Memangnya ada apa, mas?" saya balik bertanya sambil mengelus-elus jenggot. Terlahir tujuh belas tahun lebih dulu, saya harus bisa tampil bijak di depan mas Kumbang. Walaupun rumor tentang mas Kumbang yang jatuh hati pada mbak Bunga sudah santer terdengar, saya bersikap seakan-akan tidak tahu.

"Saya ingin memberi kado buat dik Bunga. Kira-kira isinya apa agar dik Bunga senang menerimanya?"

"Dia ulang tahun?"

"Tidak..."

"Terus, nawaitu-nya apa?"

"Sebagai tanda cinta..."

"Sampeyan sudah jadian?"

"Belum..."

"Berarti mau nembak sekalian?"

"Enggak..."

"Dia tahu nggak kalau sampeyan cinta?"

"Ya embuh..."

"Tembaklah dia!"

"Saya nggak berani karena pasti ditolak..."

Blaiiik...!!

Cinta tapi tidak berani menyatakan karena sudah tahu jawabannya. Lagi-lagi saya maklum. Mas Kumbang ini tipe laki-laki pemalu yang nggemesin. Gemes pengen njitak kepalanya untuk menstimulasi syaraf-sayaf otaknya supaya lebih bersemangat.

"Tembaklah dia...," seru saya sekali lagi. Meski ditolak, tetapkanlah untuk menembak. Niatkanlah untuk diterima, bukan diniatkan untuk ditolak. Kalau hanya mencari pengalaman untuk dijadikan guru, tidak perlu pada mbak Bunga. Tembak saja mbak-mbak pegawai minimarket yang selalu mengucapkan salam dan tersenyum manis begitu sampeyan baru pegang gagang pintu. Bahkan sampeyan akan mendapatkan dua pengalaman sekaligus, menembak dan ditolak. Toh, sampeyan tidak mempertaruhkan hati juga untuk siap remuk berkeping-keping. Saya yakin di setiap pikiran jomblo yang nembak pasti ingin diterima. Kalau pun pada akhirnya ditolak, paling tidak sudah berusaha semampunya, namun apa boleh buat, Gusti Allah berkehendak lain.

Dengan menembak, sampeyan akan tahu kalau dunia ini luas dan terkadang tidak adil. Satu lagi, sampeyan akan mengerti alasan kenapa panglima Tiang Feng setiap waktu selalu bersyair puisi yang sama; Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir.

"Terus, bagaimana caranya agar dik Bunga bisa jatuh cinta juga pada saya, pak...?," tanya mas Kumbang lagi.

Saya seperti masuk jebakan batman untuk menjawab pertanyaannya. Ini tentang reputasi saya. Untunglah saya teringat petuah guru spiritual saya sewaktu tinggal di Jogja dulu. "Baiklah, mas Kumbang. Akan saya beritahu sampeyan rumus kuno dalam dunia persilatan. Tolong, jaga baik-baik dan jangan sampai jatuh ke tangan pendekar berwatak jahat. Sampeyan perhatikan di luar sana, banyak perempuan-perempuan cantik yang bergandengan dengan laki-laki buluk. Ketahuilah,  sesungguhnya kelemahan laki-laki terletak pada mata dan kelemahan perempuan terletak di telinga."

Mas Kumbang nampak tersenyum sumringah. Rupanya dia sudah tahu maksud ucapan saya. Lega hati saya melihatnya meski ada rahasia besar yang saya pegang tentang rumus tersebut. Pernah saya harus dibawa ke IGD karena mengalami kram mulut saat 24 jam nonstop merayu seorang perempuan dengan hasil tetap nol besar. Dari seratus kali percobaan, saya baru berhasil satu kali. Tapi, lain halnya ketika teman saya yang menerapkannya. Teman saya selalu berhasil. Bisa jadi teman saya sedang bernasib mujur. Padahal IPK-nya biasa saja, pemalu, susah bicara pada perempuan. Tidak ada yang bisa dilebihkan dari dia selain banyak orang yang berbisik-bisik di belakang saya kalau wajah teman saya itu mirip-mirip Lee Min Ho. Untuk kasus saya, anggap saja sebagai perkecualian karena suatu kebetulan pula bila ternyata perempuan-perempuan yang saya jadikan target, semuanya tunarungu. Biarlah itu tetap menjadi rahasia yang terus saya bawa sampai mati.

"Oke, semangat. Siapkan bahan pembicaraan. Cari waktu yang tepat, kasihkan kadonya lalu sampeyan tembak dia...!," lanjut saya sambil menepuk-nepuk punggung mas Kumbang.

Mas Kumbang mengernyitkan dahinya. Seperti ada perlawanan dalam otaknya saat mendengar kata-kata saya barusan.

"Tapi, pak..., bukankah cinta tidak harus memiliki...?"

Super sekali...!!!

Saya rasa hanya Mariyo Tangguh yang bisa menjelaskan pernyataan sampeyan baru saja. Cinta tidak harus memiliki, saya sangat setuju sekali kalimat tersebut. Tetapi itu dahulu. Ya, dahulu sekali. Dahulu ketika saya langsung jatuh cinta begitu melihat Dian Sastro di film Bintang Jatuh. Ibarat mawar, saya akan biarkan dia tumbuh merekah di batangnya karena saya sadar betul bila seandainya saya nekad memetiknya, mawar itu akan kering dan layu digenggaman. Begitu juga Dian Sastro saat itu. Dia akan kurus kering dengan perut membuncit terkena gizi buruk bila saya nekad menculik dan memaksanya kawin lari dengan saya, jomblo yang setiap paruh bulan hari-harinya selalu akrab dengan mie instan. Namun di sini masalahnya, mbak Bunga bukan Dian Sastro. Kisah sampeyan bukan pungguk dengan bulan. Sampeyan hanya tidak berani menyatakan cinta. Titik...!!!

Suasana berubah hening. Saya dan mas Kumbang sama-sama terdiam.

Saya pun melanjutkan.

Mas Kumbang, jangan menyerah sebelum bertanding. Kejarlah mbak Bunga sampai sayap-sayap sampeyan tak mampu lagi untuk mengepak karena kelelahan. Sampai sampeyan merasakan betul  kalau cinta itu kejam, namun sampeyan tetap tegar sambil berteriak lantang seperti di iklan film, "Jomblo itu pedih, jenderal...!!"

"Jadi, mas. Kamu harus mengatakan cinta padanya!," ujar saya.

"Terus, bagaimana cara saya mengatakannya...?."

Say it with flower. Tidak! Tidak! Mas Kumbang tidak masuk dalam klasifikasi romantis. Bisa nyasar kalau harus ke pasar kembang. "Sampeyan ajak saja dia keluar, makan bareng."

"Teruuussss....."

Uwis..., uwis..., enggak usah dilanjutkan. Saya paham apa yang ada di pikiran sampeyan. "Tidak tahu cara ngajaknya...? Sampeyan telepon atau SMS! Tidak dibalas...? Sampeyan samperin ke rumahnya! Takut sama bapaknya...? Sampeyan pergi ke masjid terdekat lalu sampeyan siarkan lewat toa. Tunggu barang tiga puluh menit, dia akan datang berpita jingga dan sepatu hitam. Lalu, cuuusss ke tempat tujuan. Pesan menu, kemudian sampeyan berikan kadonya. Tidak berani ngomong...? Mainkah musik dari hape sampeyan, putar lagunya Nella Kharisma, Jaran Goyang!."

"Terus, kalau nanti dik Bunga marah, gimana pak...?"

Hhmm..., sampeyan ini ya, dilakukan saja belum sudah tahu bakal sepeti apa jalan ceritanya. Beri dia barang yang menurut sampeyan harganya paling mahal! Bawa dia ke restoran yang menurut sampeyan rasanya paling enak! Kalau pun nanti mbak Bunga marah lalu ingin melemparkan piring ke muka sampeyan, percayalah, keinginan tersebut bakal diurungkannya. Mbak Bunga tidak bakalan jadi meledak karena sumbunya telah mejen, tersiram oleh harga dan rasa yang telah sampeyan berikan.

"Saya pusing, pak...," kata mas Kumbang lirih.

"Semangat, mas. Semangat...!"

"Biar sajalah seperti ini, pak. Saya sudah bahagia..."

Saya terpaku. Semua rangkaian kata-kata yang sudah siap di ujung lidah mendadak buyar begitu saja begitu mendengar jawaban dari mas Kumbang. Bahagia. Ya, mas Kumbang sudah bahagia hanya dengan memiliki rasa cinta pada mbak Bunga, tanpa harus memiliki apalagi menguasai. Saya tatap ekspresi wajahnya yang datar. Sorot matanya yang kosong. Tanpa saya sadari, ada yang meleleh dari ujung kelopak mata ini. Setiap hela napasnya berubah menjadi sembilu yang meretas hati saya. Pedih. 

Luar biasa...!!!

Kumbang telah memilih bahagia tanpa perlu bunga.(*)   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun