"Jadi, mas. Kamu harus mengatakan cinta padanya!," ujar saya.
"Terus, bagaimana cara saya mengatakannya...?."
Say it with flower. Tidak! Tidak! Mas Kumbang tidak masuk dalam klasifikasi romantis. Bisa nyasar kalau harus ke pasar kembang. "Sampeyan ajak saja dia keluar, makan bareng."
"Teruuussss....."
Uwis..., uwis..., enggak usah dilanjutkan. Saya paham apa yang ada di pikiran sampeyan. "Tidak tahu cara ngajaknya...? Sampeyan telepon atau SMS! Tidak dibalas...? Sampeyan samperin ke rumahnya! Takut sama bapaknya...? Sampeyan pergi ke masjid terdekat lalu sampeyan siarkan lewat toa. Tunggu barang tiga puluh menit, dia akan datang berpita jingga dan sepatu hitam. Lalu, cuuusss ke tempat tujuan. Pesan menu, kemudian sampeyan berikan kadonya. Tidak berani ngomong...? Mainkah musik dari hape sampeyan, putar lagunya Nella Kharisma, Jaran Goyang!."
"Terus, kalau nanti dik Bunga marah, gimana pak...?"
Hhmm..., sampeyan ini ya, dilakukan saja belum sudah tahu bakal sepeti apa jalan ceritanya. Beri dia barang yang menurut sampeyan harganya paling mahal! Bawa dia ke restoran yang menurut sampeyan rasanya paling enak! Kalau pun nanti mbak Bunga marah lalu ingin melemparkan piring ke muka sampeyan, percayalah, keinginan tersebut bakal diurungkannya. Mbak Bunga tidak bakalan jadi meledak karena sumbunya telah mejen, tersiram oleh harga dan rasa yang telah sampeyan berikan.
"Saya pusing, pak...," kata mas Kumbang lirih.
"Semangat, mas. Semangat...!"
"Biar sajalah seperti ini, pak. Saya sudah bahagia..."
Saya terpaku. Semua rangkaian kata-kata yang sudah siap di ujung lidah mendadak buyar begitu saja begitu mendengar jawaban dari mas Kumbang. Bahagia. Ya, mas Kumbang sudah bahagia hanya dengan memiliki rasa cinta pada mbak Bunga, tanpa harus memiliki apalagi menguasai. Saya tatap ekspresi wajahnya yang datar. Sorot matanya yang kosong. Tanpa saya sadari, ada yang meleleh dari ujung kelopak mata ini. Setiap hela napasnya berubah menjadi sembilu yang meretas hati saya. Pedih.Â