Apakah Bunga selalu tercipta untuk Kumbang?
Kalau menurut pakem, jawabannya pasti iya. Namun bila ternyata ada bunga yang madunya dihisap lalat, saya pastikan itu hanya lakon carangan belaka.
Kembali ke Kumbang. Maaf..., maksud saya, mas Kumbang. Dia laki-laki berbodi sport dengan desain macho yang akan membuat mata perempuan yang melihatnya berubah menjadi lopelope. Itu kalau mas Kumbang dalam posisi diam tak bersuara. Lalu bagaimana kalau dia sudah bersuara? Klemak-klemek kaya Janoko Jambon kurang tajin. Benar-benar njelehi, sama seperti dia merasakan nasib kejombloannya.Â
Iya, bagi mas Kumbang, menjadi jomblo itu sangat njelehi, bahkan terasa nyeseg kalau benar-benar diresapi apalagi bila posisinya sudah hampir mendekati fase mapan. Bagaimana tidak, di saat beberapa laki-laki lain pusing menjual celana color bermotif flower-flower untuk bekal wakuncar, mas Kumbang malah merasa kalau kartu ATM-nya selama ini serasa tidak berguna.
Hingga pada suatu waktu. Di gardu Poskamling. Ketika hanya ada saya, mas Kumbang dan kesunyian malam.
"Pak, curhat...," kata mas Kumbang.
"Oiya, mas. Silahkan," jawab saya. "Semoga saya bisa sedikit meringankan beban sampeyan."
"Dik Bunga itu kesenangannya apa, pak?."Â
Dyar....!!!
Saya terhenyak. Ingin rasanya langsung teriak, itu bukan curhat, oe.....!! Itu namanya pertanyaan...!! tapi masih saya tahan. Saya perhatikan air muka mas Kumbang. Tanpa ekspresi, datar, sorot matanya kosong. Oke, berarti dia serius berniat curhat, dan bukan berniat menghina saya.Â
Jujur, ini curhatan paling wuasu yang pernah saya terima. Bagaimana tidak. Saya tidak kenal mbak Bunga, belum pernah ngobrol apalagi sampai bercengkerama face to face. Blaasss..... Lha kok tega-teganya menganggap seolah-olah saya ngerti semua tetek dan bengek-nya mbak Bunga. Sangat jelas, mas Kumbang telah melecehkan marwah saya sebagai suami yang menjunjung tinggi prinsip monogami. Kurang ajar sekali, kan?