***
“Aku boleh mampir bentar ya, Dik?” tanya Ramadhan kepada Ratih ketika perjalanan mereka sudah persis di depan rumah gadis berkerudung ungu tersebut. Sudah sebelas malam, Ramadhan selalu mengantar jemput Ratih tarawih bareng namun baru malam ini dia punya keberanian untuk singgah ke rumahnya.
“Ada apa, Mas?”
“Aku ada sesuatu buat kamu.”
“ Wuih.., apaan, Mas? Ya, udah. Duduk dulu, Mas,” kata Ratih sambil masuk ke dalam rumah.
Ramadhan duduk di kursi teras, menghadap pintu utama. Pintu yang terbuka membuat pandangan Ramadhan bisa menyaksikan semua aktifitas di ruangan tersebut dengan leluasa. Di dalam ruang tamu nampak Bu Yatmi, ibunya Ratih, sedang berbincang-bincang dengan dua orang ibu-ibu. Menilik dari penampilan mereka yang necis serta menenteng sebuah kitab besar sepertinya mereka hendak pergi ke sebuah acara pengajian.
“Eh, Bu Yatmi, jilbabnya bagus sekali. Baru, ya?” seloroh salah satunya.
“Ah, Jeng Dewi, bisa aja. Ini oleh-oleh dari papanya Ratih, kemarin habis kunjungan ke Singapur,” terang Bu Yatmi penuh semangat. “Di sini juga banyak, Jeng. Murah, kok, paling cuma dua jutaan.”
“Malam ini giliran tempatnya Bu Sri kan, Bu,” kata ibu satunya lagi. “Kasihan, ya. Bu Sri itu kan suaminya seorang pejabat tinggi, masak jilbabnya hanya itu-itu saja.”
“Lho, memangnya Jeng Denok belum tahu, ya?” jawab Bu Dewi. “Suaminya Bu Sri itu kan punya wanita simpanan. Denger-denger sih, artis”
“Beneran, Jeng?” tanya Bu Denok penasaran.