Suatu siang ketika matahari tidak terlalu garang menebarkan panasnya. Seorang lelaki nampak berjalan mengendap-endap ke sebuah warung bertenda biru, di sebuah sudut perumahan. Meski tidak seramai biasanya namun suasana dalam warung juga tidak bisa dikatakan sepi. Setelah memesan semangkuk mie ayam dan es teh, lelaki tersebut segera sibuk dengan ponselnya.
Lelaki itu bernama Ramadhan. Kamu tahu, kenapa? Sebab dia dilahirkan sehari sebelum bulan puasa tiba. Nanggung, begitu kilah bapak dan ibunya. Mereka yakin orang-orang akan memakluminya, semaklum pada bayi yang lahir caesar pada tanggal 17 Agustus.
Ramadhan batuk-batuk karena tersedak ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang saat dia tengah asyik menyedot es tehnya.
“Woi! Ngagetin aja kamu, Jon,” kata Ramadhan dengan nada geram.
“Sialan, aku muter-muter nyariin kamu ternyata nyungsep disini. Dasar, kampret!” jawab lelaki yang di panggil Jon tersebut sambil duduk di samping Ramadhan. Nama lengkapnya Sujono, biasa dipanggil Jono. Sahabat Ramadhan sejak dari kecil.
“Kamu puasa, Jon?” tanya Ramadhan kepada sahabatnya.
“Alhamdulillah.”
“Gimana ni, Jon. Bantuin aku deketin Ratih, dong,” kata Ramadhan dengan raut muka serius meski sebenarnya lebih nampak lucu. “Tiap ketemu orang pas lebaran pasti nanyain, kapan nikah? Mana pacarnya?”
“Dhan, sekarang aja kalau mau deketin Ratih. Momennya pas. Kamu barengi tu si Ratih tiap pulang pergi tarawih.”
“Malu, ah. Rame sekali.”
“Cemen! Kan, puasa baru dapat dua hari, wajarlah kalo masih ramai. Mau dapat jodoh, nggak?” Jono berhenti sejenak, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Si Joko, dulu dapat jodohnya juga pas tarawih. Bambang, Rukidi, Narno, Jimin. Banyak, kok, teman-teman kita yang beruntung pas bulan puasa.”